ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan untuk sebagian permohonan uji materiil Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), khususnya mengenai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya'.
Permohonan itu diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia berbareng tiga pemohon individu, ialah Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025.
Dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, MK menegaskan pemerintah pusat dan pemerintah wilayah kudu menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Hal itu bertindak untuk satuan pendidikan dasar nan diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar nan diselenggarakan oleh masyarakat.
Namun, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menyatakan, sekolah/madrasah swasta tidak dilarang sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan nan berasal dari peserta didik alias sumber lain selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pertimbangan MK
Dalam pertimbangannya, pengadil konstitusi Enny Nurbaningsih menilai frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas nan hanya untuk sekolah negeri menimbulkan kesenjangan. Akibatnya, ada keterbatasan daya tampung di sekolah negeri hingga peserta didik terpaksa berguru di sekolah swasta.
"Sebagai ilustrasi, pada tahun aliran 2023/2024, sekolah negeri di jenjang SD hanya bisa menampung sebanyak 970.145 siswa, sementara sekolah swasta menampung 173.265 siswa. Adapun pada jenjang SMP, sekolah negeri tercatat menampung 245.977 siswa, sedangkan sekolah swasta menampung 104.525 siswa," ujar Enny.
Mahkamah Konstitusi berpandangan negara tetap mempunyai tanggungjawab konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik nan tersendat dalam memperoleh pendidikan dasar hanya lantaran aspek ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Oleh lantaran itu, frasa "tanpa memungut biaya" dapat menimbulkan perbedaan perlakuan bagi peserta didik nan tidak mendapatkan tempat di sekolah negeri dan kudu berguru di sekolah swasta dengan beban biaya nan lebih besar.
"Sehingga terjadi kebenaran nan tidak berkesesuaian dengan apa nan diperintahkan oleh UUD NRI Tahun 1945, khususnya Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, lantaran norma konstitusi tersebut tidak memberikan batas alias pembatasan mengenai pendidikan dasar mana nan wajib dibiayai negara," kata Enny.
"Norma konstitusi a quo mewajibkan negara untuk membiayai pendidikan dasar dengan tujuan agar penduduk negara dapat melaksanakan kewajibannya dalam mengikuti pendidikan dasar. Dalam perihal ini, norma Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 kudu dimaknai sebagai pendidikan dasar baik nan diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun nan diselenggarakan oleh masyarakat (swasta)," sambungnya.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu'ti menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi nan memutuskan Pemerintah kudu menggratiskan biaya pendidikan SD dan SMP, baik negeri maupun swasta.
Negara Diminta Harus Adil
Dalam pertimbangan lainnya, pengadil konstitusi Enny Nurbaningsih meminta negara mengalokasikan anggaran pendidikan secara efektif dan adil. Terutama, kepada golongan masyarakat nan mempunyai keterbatasan akses di sekolah negeri.
"Salah satu aspek krusial dalam penerapan ketentuan tersebut adalah gimana negara dapat memastikan bahwa anggaran pendidikan betul-betul dialokasikan secara efektif dan adil, termasuk bagi golongan masyarakat nan menghadapi keterbatasan akses terhadap sekolah negeri," ucap Enny.
Enny menerangkan, dalam perihal ini, untuk menjamin kewenangan atas pendidikan bagi seluruh penduduk negara tanpa diskriminasi, negara wajib menyediakan kebijakan afirmatif berupa subsidi alias support biaya pendidikan bagi masyarakat nan hanya mempunyai pilihan untuk berguru di sekolah/madrasah swasta akibat keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Menurut MK, kebutuhan support pemerintah sebagai corak perwujudan tanggungjawab konstitusional pemerintah untuk membiayai pendidikan dasar sebagaimana diamanatkan Pasal 31 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, MK mempertimbangkan kebenaran bahwa terdapat sekolah alias madrasah swasta nan selama ini menerima support anggaran dari pemerintah seperti program BOS alias program danasiwa lainnya, namun tetap mengenakan alias memungut biaya penyelenggaraan pendidikan di sekolah masing-masing dari peserta didik guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan aktivitas pendidikan sekolahnya.
"Di samping itu, terdapat pula sekolah/madrasah swasta nan tidak pernah alias tidak bersedia menerima support anggaran dari pemerintah serta menyelenggarakan aktivitas pendidikan bagi peserta didiknya dengan berbasis pembayaran pembiayaan penyelenggaraan pendidikan dari peserta didik sepenuhnya," tulisnya.
Terkait perihal itu, MK menilai meski ada putusan ini, sekolah swasta tetap bisa memungut biaya kepada peserta didiknya. Sebab, anggaran pemerintah saat ini tetap terbatas.
"Terhadap sekolah/madrasah swasta demikian, menurut Mahkamah, menjadi tidak tepat dan tidak logis jika dipaksakan tidak boleh lagi mengenakan alias memungut biaya penyelenggaraan aktivitas pendidikan mereka dari peserta didik sama sekali, sementara di sisi lain keahlian fiskal (anggaran) pemerintah untuk memberikan support biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi satuan pendidikan nan diselenggarakan masyarakat (sekolah/madrasah swasta) nan berasal dari APBN dan APBD diakui juga tetap terbatas sampai saat ini," katanya.
Oleh lantaran itu, menurut MK, meskipun tidak dilarang sekolah alias madrasah swasta sepenuhnya membiayai sendiri penyelenggaraan pendidikan nan berasal dari peserta didik alias sumber lain nan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, namun terhadap sekolah alias madrasah swasta dimaksud tetap memberikan kesempatan kepada peserta didik di lingkungan sekolah alias madrasah swasta untuk menjadi peserta didik dengan memberikan skema kemudahan pembiayaan tertentu, terutama bagi wilayah nan tidak terdapat sekolah alias madrasah nan menerima pembiayaan dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
"Berdasarkan uraian pertimbangan norma tersebut di atas menurut Mahkamah, dalil para Pemohon nan mempersoalkan konstitusionalitas frasa 'wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya' dalam norma Pasal 34 ayat (2) UU 20/2003, nan menurut para Pemohon menimbulkan multitafsir dan diskriminasi lantaran hanya bertindak untuk sekolah/madrasah negeri adalah berdasar menurut hukum," papar Enny.
Latar Belakang Gugatan
Permohonan dengan nomor 3/PUU-XXIII/2025 diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia berbareng tiga pemohon individu, ialah Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa adalah ibu rumah tangga, sementara Riris bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Dasar argumen permohonan mereka adalah tidak maksimalnya pemakaian anggaran pendidikan di sejumlah wilayah di Indonesia. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia alias JPPI menemukan info pada 2016 nan menujukan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk program penuntasan wajib belajar di jenjang pendidikan dasar, tetapi lebih digunakan untuk shopping tidak langsung.
"Bahwa berasas data-data anggaran pendidikan dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sangat memungkinkan pendidikan dasar baik di sekolah swasta maupun negeri dibiayai oleh 20% APB dan 20% APBD, dengan beberapa argumen nan mendukung," bunyi argumen permohonan pemohon sebagaimana dilihat dalam putusan MK.
Petitum pemohon ialah:
1. Mengabulkan Permohonan PARA PEMOHON;
2. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) sepanjang frasa "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya" Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78 Dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301) Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai "Wajib Belajar minimal Pada Jenjang Pendidikan Dasar nan dilaksanakan di Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta Tanpa Memungut Biaya";
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau, Apabila Majelis Hakim Konstitusi beranggapan lain, minta putusan nan seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Mahkamah pun mengabulkan permohonan mereka.
"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai 'Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar nan diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar nan diselenggarakan oleh masyarakat," kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com