ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Proyek penulisan ulang sejarah RI nan tengah digagas Kementerian Kebudayaan mendapat sorotan sejumlah sejarawan.
Rencana ini diharapkan tak mengabaikan babak kelam sejarah Indonesia, terutama mengenai pelanggaran HAM berat nan pernah dilakukan negara.
Menteri Kebudayaan (Menbud)Fadli Zon sudah menyampaikan penulisan ulang sejarah Indonesia tidak bakal mengubah sejarah tentang peristiwa pembantaian 1965 nan kerap disebut G30S PKI (Partai Komunis Indonesia) alias Gerakan Satu Oktober (Gestok).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut tidak ada kontroversi mengenai sejarah berdarah nan menyebabkan jutaan korban meninggal bumi akibat peristiwa politik itu.
"Kalau itu kan jelas dong. Orang dinyatakan sendiri oleh mereka kok. Jadi apa nan mau (diubah), justru jangan membelokkan sejarah," kata Fadli.
Fadli menargetkan penulisan ulang sejarah Indonesia rampung pada Agustus 2025 bertepatan dengan HUT ke-80 RI. Menurut Fadli, kitab itu nantinya bakal memperbaharui sejarah RI berdasarkan kajian para sejarawan.
Dia menyampaikan kitab sejarah Indonesia jenis teranyar bakal menjadi kitab sejarah resmi Indonesia dan bakal menjadi kitab ajar sejarah di sekolah-sekolah.
"Ya semua nan perlu diupdate, kita update. Misalnya periode terakhir itu periode sebelum Pak SBY jika enggak salah. Nanti tentu ditambahkan," ucapnya.
Ditulis apa adanya
Sejarawan Asvi Warman Adam menyebut mengabaikan sejumlah peristiwa kelam dalam perjalanan bangsa ini hanya bakal mengulang penulisan sejarah nan pernah dilakukan Orde Baru dan bertentangan dengan etika penulisan sejarah itu sendiri.
"Jadi jika dikatakan tidak berubah itu sesuatu nan kontradiktif ya dengan prinsip dari penulisan itu," kata Asvi saat dihubungi, Kamis (8/5).
Asvi mengatakan keputusan Kementerian Kebudayaan nan tak bakal melakukan revisi terhadap peristiwa '65 hingga sejarah pelanggaran HAM berat nan dilakukan negara pada '98 perlu dipertanyakan. Menurut dia, mengabaikan rentetan peristiwa itu bertentangan dengan etika penulisan sejarah.
Dia mempertanyakan kebenaran sejarah dalam kitab tersebut jika tak ada kebaruan di dalamnya. Padahal, banyak buku-buku baru nan ditulis akademisi telah mengungkap kebenaran di kembali peristiwa pelanggaran HAM berat nan pernah dilakukan negara.
"Salah satu karakter dari pembuatan dari sejarah standar itu. Sejarah itu juga menampakkan apa ya, pembaruan alias tulisan-tulisan nan mutakhir ya. Perkembangan tulisan nan baru di dalam bagian sejarah mengenai peristiwa tertentu gitu," katanya.
Asvi antara lain mencontohkan sejumlah kitab sejarah tentang peristiwa pemberontakan '65 nan telah banyak ditulis sejarawan. Termasuk juga pelanggaran HAM berat nan dilakukan negara pada '98, salah satunya menyeret nama Prabowo Subianto.
Pada prinsipnya, kitab sejarah menurut Asvi kudu mengandung kebaruan. Artinya, jika tak mempunyai unsur tersebut, bertentangan dengan sejarah nasional Indonesia. Para penulis sejarah, kudu menemukan kebenaran baru dalam sebuah peristiwa sejarah nan bakal ditulis.
Dia menilai rencana pemerintah untuk memperbarui sejarah kolonialisme Indonesia oleh Belanda selama 350 tahun, juga bukan perihal baru. Sebab, perihal itu telah ditulis oleh sejarawan Belanda G.J Ressink dalam bukunya "Bukan 350 Tahun Dijajah".
"Kalau hanya nan berubah itu hanya mengatakan bahwa Indonesia tidak dijajah 350 tahun, itu sudah ditulis bukunya, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu kitab nan ditulis oleh Ressink," kata Asvi.
Bukan sejarah resmi
Sementara itu Asvi menyebut proyek penulisan sejarah ulang RI nan tengah digarap Kementerian Kebudayaan tidak resmi. Menurut dia, kitab sejarah resmi alias official history nan pernah dibuat pemerintah sejauh ini baru dua kali dilakukan.
Pertama, kitab putih tentang pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) nan diterbitkan Sekretariat Negara pada 1994 berjudul, "Gerakan 30 September: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya". Buku itu biasa disebut sebagai kitab putih.
Kedua, kitab berjudul "Risalah Persidangan BPUPKI dan PPKI" nan juga diterbitkan Setneg pada 1998.
Sementara kitab sejarah Indonesia nan disunting Nugroho Notosusanto pada 1977 di awal Orde Baru dan terdiri dari enam jilid, bukan kitab sejarah resmi. Menurut Asvi, kitab tersebut hanya semacam kitab pegangan alias handbook.
"Nah itu menurut irit saya dan juga menurut pengakuan mereka itu disebut sejarah standar. Sejarah standar, sejarah babon, jika bahasa Ingggrisnya itu handbook," katanya.
Meski sama-sama diterbitkan pemerintah, Asvi menyebut ada perbedaan mendasar antara kitab sejarah resmi nasional dan tidak resmi namalain handbook.
Menurut dia, sejarah resmi merupakan pendapat negara terhadap sebuah peristiwa alias sejumlah peristiwa seperti tertuang dalam kitab putih penumpasan PKI '65 1994 dan Risalah BPUPKI dan PPKI 1998.
Sedangkan, kitab sejarah RI nan kali pertama terbit pada 1977 tak bisa disebut sebagai pendapat negara. Sebab, kitab tersebut ditulis oleh banyak penulis, termasuk proyek penulisan ulang sejarah nan saat ini sedang dilakukan.
"Bagaimana mungkin ya, itu dikeluarkan di dalam waktu singkat dengan beragam penulis, kita bisa mengatakan itu resmi pendapat negara gitu, tentang satu peristiwa alias lain-lain gitu. Kan ada 90 apalagi sekarang katanya 100 penulis," katanya.
"Kita tidak bisa mengatakan semuanya itu nan ditulis di dalam kitab ini resmi pandangan negara tentang itu gitu," imbuh Asvi.