ARTICLE AD BOX
Jakarta -
Pengusaha ritel angkat bicara mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) sebagai peraturan penyelenggaraan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (UU 17/2023) tentang Kesehatan. Menurut pengusaha, beberapa pasal dalam peraturan tersebut menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan, terutama mengenai larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempa bermain anak.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Solihin mengatakan, pihaknya mendukung kampanye pemerintah mengenai ancaman rokok bagi orang di bawah 21 tahun. Meskipun ritel telah menerapkan patokan dengan tidak menjual rokok kepada orang di bawah 21 tahun, kebijakan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dianggap membingungkan bumi usaha.
"Tanda tanya besar bagi kami, sebagai Ketua Umum Aprindo maupun Apindo DKI, kami menyayangkan adanya PP tersebut tanpa melibatkan stakeholder, terutama Aprindo," kata Solihin dalam keterangannya, Kamis (24/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aturan ini membikin bumi upaya kebingungan dan menimbulkan tebang pilih dalam pelaksanaannya. Beberapa ritel modern telah didatangi oleh petugas berseragam nan dikhawatirkan hanya mencari kesalahan nan diada-adakan. Selain itu, belum ada edukasi nan jelas dari Kementerian mengenai dalam pelaksanaannya di lapangan. Merespon perihal tersebut, Aprindo berencana mengusulkan judicial review terhadap pasal tersebut.
"Sampai saat ini belum ada perbincangan mengenai perihal itu, tiba-tiba (aturannya) sudah keluar. Salah satu langkah kami adalah judicial review, tapi kita lihat dulu apakah ada penyesuaian dalam peraturan pelaksananya nan berasal dari masukan pengusaha, terutama ritel," tambah Solihin.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, menyebut pelaku upaya telah menjalankan patokan pengetatan penjualan rokok bagi anak di bawah umur 21 tahun, seperti peletakan rokok di belakang kasir. Namun, larangan penjualan dalam radius 200 meter justru dikhawatirkan bakal menyuburkan rokok ilegal.
"Jika rokok legal tidak ada dalam radius 200 meter dari sekolah, rokok terlarangan bisa dijual dengan cara-cara ilegal, jualan diam-diam, bakal ada orang nan tidak bayar pajak. Ini siapa nan bisa mengontrol?" kata Budihardjo.
Sementara, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi cemas sasaran pertumbuhan ekonomi dari Presiden Prabowo Subianto tidak berhasil.
"Aturan perlu mempertimbangkan ratusan ribu tenaga kerja nan terlibat, termasuk petani, pekerja dan sebagainya. Kemudian jangan lupa dengan kontribusi Cukai Hasil Tembakau sekitar lebih dari Rp 200 triliun per tahun," kata Benny.
Benny menambahkan bahwa Indonesia mempunyai perbedaan dengan negara-negara lain lantaran mempunyai kebun, industri, dan pemerintah nan tetap memerlukan industri tembakau. "Rp 200 triliun bukan nilai nan sedikit. Jika industri tembakau dihilangkan begitu saja, ekonomi juga bakal turun. Kita mau mengejar pertumbuhan 8%, gimana mungkin kita mencapai sasaran tersebut? Khawatirnya, dengan aturan-aturan seperti ini, 50% dari sasaran pertumbuhan ekonomi juga tidak bakal tercapai jika industri tembakau dihilangkan pada saat ini," jelasnya.
Tertekannya industri tembakau sudah mulai terasa, sasaran pertumbuhan ekonomi 8% dikhawatirkan tidak tercapai. Padahal Presiden Prabowo telah menggaungkan perlunya deregulasi agar sasaran pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Regulasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak menimbulkan ketidakpastian norma bagi pelaku usaha.
"Ketentuannya dihilangkan bakal lebih pasti. Masalah sekarang ini tidak ada kepastian hukum. Hukumnya ada tapi tidak bisa diterapkan. Judicial review adalah langkah tepat. Gaprindo mendukung rencana judicial review lantaran akibat langsung terasa kepada pedagang. Jika pedagang terganggu, industri juga bakal terganggu," ujar Benny.
(acd/acd)