Peneliti Dari Ugm Sebut Pengemudi Ojek Daring Patut Dapat Perlindungan Sosial

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Guna melindungi pengemudi ojek daring dari lembah kemiskinan, perlindungan sosial dinilai krusial untuk diberikan. Salah satu agunan sosial yang patut diberikan adalah BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu diungkapkan peneliti dari Institute of Government and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto.

Arif menilai, para pengemudi platform digital seperti Gojek, Grab, Maxim, dan lainnya sudah sepatutnya mendapatkan BPJS Ketenagakerjaan lantaran hubungan mereka dengan perusahaan tidak lagi mencerminkan kemitraan sejati.

"Kalau kita lihat dari perspektif pandang nan lebih kritis, dalam hubungan kemitraan semestinya ada aspek saling memperkuat dan setara. Tapi pada praktiknya, keputusan diambil sepihak oleh perusahaan," ujarnya.

"Sulitnya pengemudi ojek daring menerima agunan sosial ini mengingat dalam hubungan antara platform dan pengemudi hanya berkarakter kemitraan, status ini nan membikin perusahaan merasa tak mempunyai tanggung jawab untuk melindungi para pengemudi daring," jelas Arif.

Ia pun mengungkapkan, platform telah mengambil untung alias potongan dari setiap pesanan nan masuk kepada para pengemudi nan jumlahnya cukup besar. Begitu juga dengan penentuan tarif nan dianggap hanya diputuskan satu pihak saja ialah penyedia platform.

"Artinya jika memang mau menciptakan suasana alias ekosistem ekonomi digital itu baik, maka mereka (platform) kudu melindungi driver-nya. Jangan sampai kemudian driver-nya sakit dibiarkan, driver-nya kecelakaan mereka tidak bertanggung jawab," ungkap Arif.

Kurang dari 40% Punya Jaminan Sosial

Arif membeberkan, hampir 70–80 persen driver pernah mengalami akibat kerja akibat kelelahan bekerja lebih dari 13 jam per hari. Ironisnya, kurang dari 40 persen driver mempunyai agunan sosial, sebagian besar hanya dari program support pemerintah.

"Ini memperlihatkan pentingnya agunan seperti BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, bukan hanya soal keadilan, tapi juga perlindungan dasar bagi pekerja," bebernya.

Arif juga menyinggung perubahan sikap driver terhadap status kemitraan. Jika sebelumnya banyak driver nyaman dengan sistem mitra lantaran bingkisan tinggi, sekarang sebagian besar justru menginginkan status sebagai pekerja formal.

"Sekarang sekitar 58 persen driver mau menjadi pekerja. Karena ada kepastian upah, agunan sosial, dan biaya operasional ditanggung perusahaan," ucapnya.

Arif mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan, untuk mengakhiri "kemitraan semu" nan berjalan ini. Menurutnya, sudah saatnya pemerintah meninjau ulang pengelompokkan hubungan kerja ini, sebagaimana telah dilakukan di sejumlah negara seperti Inggris, Belanda, dan Swiss.

"Di negara-negara tersebut, driver platform tidak bisa lagi disebut mitra lantaran sudah terpenuhi tiga unsur hubungan kerja: ada upah, ada perintah, dan ada pekerjaan dari platform. Maka sudah semestinya mereka dikategorikan sebagai pekerja," ujarnya.

"Kemnaker kudu bersikap lebih proaktif dalam melindungi pengemudi daring agar tidak terus dirugikan oleh hubungan kerja nan timpang," jelas Arif.

Belum Dapat nan Layak

Sementara itu, pengemudi ojek daring, Manyono (58), menyebut pengemudi ojek daring hingga sekarang belum mendapatkan agunan sosial ketenagakerjaan nan layak dari perusahaan aplikasi.

"Semestinya kita dilindungi agunan sosial. Meski kemitraan tapi status kita layaknya pekerja. Ada hukuman andaikan kita tidak perform," sebutnya.

Maryono mendorong agar pemerintah menegaskan bahwa pengemudi ojek daring bukan sekadar "mitra", melainkan bagian dari ekosistem kerja digital nan kudu dilindungi secara norma dan sosial.

Kepesertaan dalam program BPJS Ketenagakerjaan sepenuhnya dibebankan kepada para pengemudi itu sendiri, tanpa support kontribusi dari perusahaan penyedia platform.

Padahal, pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring mengandung akibat tinggi nan menuntut perlindungan sosial memadai, mulai dari agunan kecelakaan kerja hingga pensiun.

Tanpa adanya alas perlindungan, para pengemudi berada dalam posisi rentan terhadap akibat ekonomi maupun kecelakaan kerja, terlebih dengan jam kerja nan kerap melampaui 12 jam per hari.

Siapkan Regulasi

Sebelumnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer Gerungan mengatakan, pemerintah menyiapkan izin mengenai tarif, hak, hingga perlindungan bagi mitra pengemudi jasa transportasi berbasis aplikasi (ojek daring/ojol), termasuk pemberian bingkisan hari raya (BHR).

"Aturan ini bakal melibatkan sinergi antara para pemangku kepentingan seperti aplikator dan kementerian/lembaga (K/L) terkait, termasuk salah satunya Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg)," katanya.

"Ini sudah menjadi atensi ya, menjadi atensi kita sebagai negara. Itu termanifestasi kelak dengan Setneg," jelas Noel.

Menurutnya, tetap terdapat sejumlah pertimbangan krusial nan nantinya menjadi dasar krusial dalam penyusunan izin mendatang.

"Karena masing-masing ini beda karakter, beda suasana bisnisnya. Nanti kita cari formulasinya nan tepat. Karena kita tidak mau membikin izin malah merugikan," ujar Noel.

(*)

Selengkapnya