ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka bunyi mengenai argumen penetapan patokan pemisah usia, penghasilan minimum hingga pemisah kembang pinjaman bagi fintech peer to peer (P2P) lending dan Buy Now Pay Later (BNPL)
Sebagaimana diketahui, pemisah usia minimum pemberi biaya (lender) dan penerima biaya (borrower) pinjaman daring (pindar) dan pengguna pay later adalah 18 tahun alias telah menikah.
Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Ahmad Nasrullah mengatakan patokan ini diterapkan untuk menghindari generasi muda dari lilitan utang. Pasalnya, umur 18 tahun dinilai sudah bisa berpikir logis mengenai akibat berutang.
"Kita juga nggak mau kelak generasi-generasi muda terjerat utang, sementara dia nggak ada keahlian untuk bayar sebenarnya. Kenapa kita membatasi 18 tahun? Itulah ukuran orang dewasa," ungkapnya dalam Media Briefing OJK, Selasa, (21/1/2025).
Sementara itu, baik penerima biaya fintech lending alias pengguna pay later pun wajib berpenghasilan minimal Rp3.000.000 per bulan. Hal ini menyangkut keahlian bayar bagi para borrower.
"Kita sih ambil dari rata-rata UMP aja lah, kami anggap cukup pas. Ini juga untuk memastikan keahlian bayar dari si peminjam ya terutama," tutur Nasrullah.
Diketahui, patokan ini mulai bertindak di industri fintech P2P lending pada tahun 2025. Sementara bagi platform BNPL, patokan ini baru bertindak tahun 2027.
Tak hanya penghasilan dan umur, OJK pun mengatur soal batas maksimum faedah alias kembang bagi fintech lending.
Batas maksimum faedah ekonomi per hari (%) dari pinjaman online konsumtif dengan tenor lebih dari 6 bulan turun menjadi maksimal 0,2%. Awalnya, pemisah kembang pinjaman daring (pindar) untuk tenor ini adalah 0,3%. Sementara itu, untuk pinjaman konsumtif dengan tenor kurang dari 6 bulan, pemisah maksimum bunganya tetap sebesar 0,3%.
Nasrullah menjelaskan, keputusan untuk mempertahankan kembang maksimum 0,3% bagi pendanaan dengan tenor pendek ditengarai banyaknya biaya-biaya nan kudu dibebankan kepada borrower.
"Kalau dipaksakan nan 0,2%, lender bakal mempertimbangkan pendanaannya. Kalau suku bunganya nggak masuk untuk nan tenor pendek ini, itu dikhawatirkan terjadi penurunan pembiayaan kepada sektor-sektor ini, dan takutnya mereka (borrower) lari (ke platfotm ilegal)," tandasnya.
Sebagai informasi, OJK mencatat saat ini terdapat 97 platform peer to peer lending nan legal. Dari jumlah tersebut, outstanding pembiayaan pinjaman daring per November 2024 mencapai Rp75,60 triliun. Pencapaian ini tumbuh sebesar 27,32% secara tahunan (yoy).
Sementara itu, tingkat akibat angsuran macet secara agregat (TWP90) naik ke nomor 2,52% pada November 2025. Sebelumnya, TWP90 pada Oktober 2024 tercatat sebesar 2,37%.
(mkh/mkh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Paylater-QRIS,Transaksi Mana nan Diandalkan Bank Digital 2025?
Next Article Serupa tapi Tak Sama, Ini Perbedaan Kartu Kredit, Paylater, & Pinjol