ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Musim tak lagi hanya soal hujan dan kemarau, alias 4 musim nan ada di negara lain. Studi terbaru mengungkap bahwa perubahan suasana dan aktivitas manusia telah menciptakan musim-musim baru nan sepenuhnya berkarakter antropogenik alias buatan manusia.
Fenomena ini sekarang mulai dirasakan di beragam bagian dunia, termasuk Indonesia.
Di Bali, misalnya, muncul apa nan disebut sebagai "musim sampah", ialah ketika gelombang laut dan pola pasang surut membawa limbah plastik ke pesisir setiap tahun antara November hingga Maret.
Kondisi ini bukan kejadian alamiah, melainkan hasil dari pencemaran dan ketidakteraturan pengelolaan sampah.
Di wilayah Asia Tenggara lainnya, "musim kabut asap" muncul akibat pembakaran rimba untuk membuka lahan pertanian saat musim kering. Asap menyelimuti langit selama berminggu-minggu, memicu krisis kesehatan dan gangguan aktivitas masyarakat.
Sementara itu, beberapa musim alami justru menghilang. Musim-musim nan punah ini bisa mencakup perubahan drastis alias berhentinya perilaku migrasi hewan,
Penurunan musim berkembang biak burung laut di Inggris utara dan berkurangnya musim dingin di area pegunungan Alpen menjadi contoh akibat perubahan suasana nan nyata.
Cuaca ekstrem juga semakin sering terjadi, dan pergeseran pola musim menyebabkan gangguan pada siklus hidup tanaman dan hewan nan saling bergantung.
Secara umum, peneliti dari University of York dan London School of Economics menyebut ada empat jenis musim baru nan makin banyak ditemui di dunia. Musim baru ini muncul lantaran aktivitas manusia nan mengganggu iklim. Empat jenis musim baru tersebut adalah:
- Emergent seasons alias musim baru muncul, ialah pola musim nan sebelumnya tak pernah terjadi di suatu wilayah
- Extinct seasons alias musim punah, ialah musim nan tiba-tiba lenyap alias berbeda dari biasanya
- Arrhythmic seasons alias musim aritmik, ialah perubahan siklus dan panjang musim
- Syncopated seasons, musim sinkopasi, ialah karakter dan intensitas cuaca di sebuah musim nan terus berubah
Musim-musim ini tidak lagi mengikuti pola nan dapat diprediksi. Musim panas menjadi lebih panjang dan panas, musim hujan lebih pendek namun intens, sementara musim dingin dan musim hibernasi menjadi lebih singkat.
Pergeseran ini membikin waktu terjadinya kejadian musiman seperti gugurnya daun alias migrasi satwa menjadi tidak menentu.
Di Thailand utara, perubahan ini telah memengaruhi pola tanam dan kesiapan air, terutama di wilayah aliran sungai Mekong.
Pembangunan waduk di hulu dan perubahan curah hujan akibat suasana dunia membikin musim tandus lebih panjang dan musim hujan datang secara tidak teratur.
Meski sejumlah respons adaptif seperti peringatan awal dan instalasi penyaring udara mulai diterapkan, para intelektual menilai bahwa solusi semacam ini tidak menyentuh akar permasalahan.
Normalisasi musim buatan justru berpotensi melemahkan tuntutan terhadap pemerintah dan pelaku industri untuk menghentikan deforestasi dan pembakaran lahan.
"Jika masyarakat hanya berjuntai pada solusi adaptif seperti ini, musim kabut asap bisa semakin memburuk seiring waktu lantaran akar permasalahannya tidak ditangani," tulis Felicia Liu, peneliti dari Universitas York, dan Thomas Smith, dari Sekolah Ekonomi dan Ilmu Politik London, dikutip dari Live Science, Kamis (31/7/2025).
"Dengan mengakui musim baru ini, masyarakat bisa saja menormalisasi kemunculan kabut asap dan malah mengucilkan pihak-pihak nan menuntut pemerintah dan perusahaan menangani deforestasi dan pembakaran hutan," imbuh
Para peneliti menekankan pentingnya merefleksikan kembali langkah manusia memahami waktu dan hubungan dengan alam.
Standar dunia seperti jam dan almanak sering kali mengabaikan cara-cara lokal nan mengikuti ritme alam, seperti datangnya musim hujan alias siklus bulan.
Perspektif dari kearifan lokal dan pengetahuan masyarakat budaya dinilai krusial untuk memperkaya strategi menghadapi perubahan suasana dan krisis lingkungan.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Tanda Kiamat Makin Dekat Terlihat Jelas di Daun