ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Wayan Sudirta mengatakan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) diusulkan sebagai solusi guna memastikan kesinambungan pembangunan nasional dengan tetap menjunjung prinsip kerakyatan dan supremasi konstitusi. Menurut dia, saat ini pendulum otonomi daerah semakin ditarik ke pusat melalui beragam Undang-undang.
“Tarik menarik kepentingan pusat-daerah ini memerlukan arah agar kembali pada konsepsi konstitusi. Ide mengkalkulasikan pasal-pasal dalam UUD 1945 nan directive menjadi hadapan negara adalah kunci untuk melakukan perbaikan ketatanegaraan ke depan. Indonesia kudu tetap berpihak pada Pancasila dan UUD 1945, agar kesinambungan visi dan misi serta arah ketatanegaraan menjadi lebih jelas,” kata Wayan dikutip pada Rabu, 12 Maret 2025.
Anggota DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta
Menurut dia, sekarang banyak provinsi dan kabupaten menguatkan otonominya dengan menggunakan simbol-simbol kebudayaan lokal. Dari perspektif psikologis, ini bukan outward looking tetapi inward looking. Dari perspektif kebudayaan, ini merupakan politik identitas.
“Pertanyaannya adalah gimana kemajemukan itu beralih bentuk menjadi keindonesiaan dengan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan sosio-kultural dan politik baru nan otonom dan genuine, sehingga menjadi semacam a constitution of the Indonesian society?,” ujarnya.
Kata dia, dihidupkannya kembali PPHN kudu dilihat secara bening sebagai bentuk percepatan upaya untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. PPHN sesungguhnya mempunyai peran strategis sebagai rambu-rambu pembangunan nasional, lantaran PPHN memilki visi dan misi negara, bukan visi misi dari perorangan alias golongan golongan.
“Oleh lantaran itu, dalam pembentukannya MPR sebagai lembaga nan diberikan kewenangan kudu merangkum pandangan dan pertimbangan dari masyarakat, daerah, dan lembaga-lembaga negara nan ditentukan dalam UUD 1945. Dengan demikian, koridor supremasi konstitusi dan kedaulatan rakyat tetap dijunjung tinggi. PPHN nan disusun nantinya dapat menampung segala kebutuhan masyarakat dan menyediakan pengganti solusi atas persoalan negara,” jelas dia.
Wayan menambahkan mengingat makna krusial PPHN sebagai blue print dalam penyelenggaraan pembangunan, serta untuk menghindari tumpang tindih kebijakan antarlembaga negara dan juga pemerintah daerah, maka penyusunan dan penetapannya dilakukan oleh MPR. Menurut dia, pPenguatan kelembagaan MPR melalui kewenangan untuk menyusun dan menetapkan PPHN bukanlah dengan maksud mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
“Selanjutnya, perumusan PPHN kudu memuat pokok-pokok kebijakan nasional nan bukan hanya ditujukan untuk Presiden, melainkan seluruh lembaga negara apalagi pemerintah daerah. Sehingga, tercipta pengharmonisan dan kesinambungan antarlembaga negara,” kata Politisi PDI Perjuangan ini.
Meskipun tidak ada akibat norma dari MPR, kata dia, laporan keahlian lembaga negara dalam menjalankan PPHN menjadi corak akuntabilitas keahlian masing-masing lembaga negara. Mekanisme kerakyatan seperti pemilu-lah nan bakal menentukan dan menilai layak alias tidaknya pemimpin lembaga negara tersebut dipilih kembali.
Memang, Wayan mengatakan menghidupkan kembali PPHN kudu dilakukan dengan amandemen UUD 1945 (terbatas). Karena Putusan MK Nomor 66/PUU-XXI/2023 menetapkan MPR tidak dapat menyusun Ketetapan nan berkarakter regeling. Hal nan perlu dilakukan penyempurnaan ialah terhadap kedudukan MPR nan merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia.
“Oleh lantaran itu, sudah menjadi suatu keharusan bagi MPR untuk diberikan kewenangannya kembali agar dapat membentuk PPHN sebagai pedoman arah pembangunan nasional nan berdasarkan nilai-nilai Pancasila,” jelas dia lagi.
Wayan menambahkan Amandemen UUD 1945 kelima secara terbatas dilakukan untuk menambahkan kewenangan MPR dalam membentuk PPHN khususnya dalam Pasal 3 UUD 1945, Bab unik tentang Pokok-Pokok Haluan Negara nan merangkum Bab-Bab nan ada dalam UUD 1945 nan sifatnya directive, serta melakukan perubahan dalam Aturan Tambahan UUD 1945, untuk menegaskan kedudukan Ketetapan MPR unik untuk menetapkan secara administratif PPHN.
“Ketetapan MPR tentang PPHN tersebut tidak perlu lagi dipahami sebagai ‘ketetapan’ nan merupakan produk regulasi, melainkan cukup dipahami sebagai produk administrasi, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di masa nan bakal datang,” katanya.
Wayan mengatakan mengenai dengan PPHN dan kebutuhan amandemen UUD 1945, maka menarik untuk disimak bahwa sejak dilakukan amandemen (1999-2002), UUD 1945 mengalami perubahan nan signifikan dalam beragam aspek ketatanegaraan. Adapun, penerapan konstitusi saat ini mencakup beberapa perihal di antaranya sistem pemerintahan nan lebih demokratis; desentralisasi dan otonomi daerah; penegakan HAM; serta kesejahteraan sosial dan ekonomi.
Jadi, Wayan menegaskan PPHN bukanlah sekadar arsip kebijakan, melainkan fondasi krusial dalam memastikan arah pembangunan nasional nan berkelanjutan. Dengan pendekatan nan inklusif dalam penyusunannya, serta sistem akuntabilitas nan jelas, PPHN dapat menjadi perangkat strategis dalam mewujudkan Indonesia nan adil, makmur, dan berdaulat.
“Langkah ke depan adalah memastikan bahwa PPHN tidak hanya menjadi wacana politik, tetapi betul-betul diterapkan sebagai pedoman pembangunan nan berorientasi pada kepentingan rakyat. Dengan begitu, kesinambungan kebijakan negara dapat terjaga tanpa mengorbankan prinsip kerakyatan dan konstitusi,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
Wayan menambahkan mengingat makna krusial PPHN sebagai blue print dalam penyelenggaraan pembangunan, serta untuk menghindari tumpang tindih kebijakan antarlembaga negara dan juga pemerintah daerah, maka penyusunan dan penetapannya dilakukan oleh MPR. Menurut dia, pPenguatan kelembagaan MPR melalui kewenangan untuk menyusun dan menetapkan PPHN bukanlah dengan maksud mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara.