Mimpi Jakarta Bebas Tawuran, Faktor Ekonomi Jadi Akar Masalah

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Rizal, laki-laki paruh baya nan tinggal di Jakarta Utara. Tepatnya di Warakas, sebuah kelurahan nan terletak di Kecamatan Tanjung Priok, mengaku sudah tidak asing dengan tawuran.  Tawuran dinilai sebagai pemandangan lumrah di tempat tinggalnya. Umumnya dalam waktu satu tahun pasti kejadian tersebut muncul, bisa 2 hingga 3 kali.

Rizal paling ingat, kala itu tahun 2023, dirinya sedang begadang untuk menyelesaikan pekerjaan. Namun bunyi teriakan dari luar memecah keheningan malam. Saat dia mengintip dari kembali jendela,  tampak dua golongan sedang tawuran.

"Jadi ceritanya tuh 2023, gue ngelihat langsung. Jadi emang remaja kampung sekitar gitu, kampung gue di kelurahan Warakas itu. Kemungkinan sih asumsinya remaja kampung tetangga, lantaran emang sebelahan gitu pemisah kampungnya. Nah itu kejadian tuh malem lewat jam 12. Hampir jam 2 jam alias 3 pagi gue lupa persisnya, Jadi itu kan gue lihat lantaran rumah gue bukan nan di komplek gitu, tetap rumah dari jaman baheula wilayah suburban lah," kata Rizal saat berbincang dengan detikai.com, Selasa (13/5/2025).

Rizal mengaku ngeri, lantaran apa nan biasa muncul di konten sosial media ada di depan matanya. Hal dikhawatirkan, adalah jika rumahnya menjadi sasaran tawuran. Walau tertutup pagar, tapi tidak menutup kemungkinan adanya lemparan batu nyasar nan bisa mengenai kendaraan pribadinya.

"Ngeri jika ada batu masuk ke pagar, terus ya ngeri juga kena kaca. Tetangga juga pada ngeri. Kalau ada kekerasan itu ngerembet kemana-mana," keluh dia.

Namun langkah sigap langsung Rizal lakukan dengan menghubungi kontak darurat di grup RT-RW dan polsek terdekat. 

"Jadi  kejadian tawurannya itu 10-20 menit, gue langsung Whatsapp di RT. Gue telpon polseknya tuh, polsek Tanjung Priok," ungkap dia.

Walau terus berulang setiap tahunnya, Rizal tetap berambisi tawuran bisa betul-betul lenyap dan tidak adalagi, baik di tempat tinggalnya alias pun di wilayah Jakarta lainnya.

Dia pun mendorong para remaja nan suka terlibat tawuran bisa diberdayakan melalui aktivitas positif.

"Mungkin bisa lewat karang taruna, organisasi alias pun patroli nan lebih rutin agar tidak ada ruang untuk mereka berjumpa untuk tawuran," minta dia.

Tawuran, Fenomena Sosial nan Abadi

Menanggapi situasi tawuran antar golongan nan umumnya didominasi golongan remaja, Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Habdy Lubis menegaskan, tawuran adalah kejadian sosial nan tidak bakal pernah lenyap di muka bumi.

"Dalam setiap wawancara tentang tawuran, saya bakal bilang ini nggak bakal pernah lenyap dari muka bumi. Kenapa? Karena akar masalahnya adalah anak muda. Ini dalam ilmu jiwa sosial, daya mereka tuh tumpah ruah, jadi di usia belasan sampai dengan 20-an awal ya, itu memang energinya. Jadi mereka tuh mau pengakuan, mau terlihat dan sebagainya. Cuma berbeda ya, di awal-awal mereka tuh nggak berani tampil sendiri. Makanya mereka nge-gang, nge-group," kata Rissalwan saat dihubungi detikai.com melalui sambungan telepon.

Sejatinya, sambung dia, daya berlebih dari remaja bisa disiasati dengan menggeser aktivitas tawuran dengan sebuah kejuaraan seperti olahraga. Sebab sejatinya, tawuran adalah duel dua golongan nan mau menunjukkan siapa nan paling dahsyat agar mendapat pengakuan, sama seperti pertandingan olahraga.

Namun Rissalwan mengamini, tidak semua wilayah di Jakarta mempunyai akomodasi pendukung nan baik sebagai tempat menyalurkan daya berlebih melalui olahraga. Beda dengan remaja nan tinggal di kompleks alias wilayah elit. Maka tidak heran, kenapa tawuran umumnya muncul dari mereka nan tinggal di rumah-rumah padat penduduk.  

"Saya kira sangat jelas hubungannya, bagi orang-orang nan menengah ke atas, langkah mereka mengekspresikan diri, itu kan sudah jelas. Interaksi mereka juga sudah jelas. Mereka tak butuh ke pengakuan lagi dari orang banyak," jelas Rissalwan.

Media Sosial Picu Validasi Semu Lewat Like dan Komen

Rissalwan menambahkan, hadirnya era media sosial membuktikan bahwa bumi maya saat ini adalah arena pengakuan. Karenanya, semakin sering tawuran maka jumlah like dan komen nan mereka dapat bakal menjadi validasi. 

"Cara mereka menunjukkan kelebihan itu dengan menjadi lebih ekstrem agar mendapatkan perhatian, agar mendapat like, agar viral, itu kudu ekstrem. Tapi orang nan kaya tidak, mereka tidak perlu memarkan kekayaan. Tapi buat kaum mendang-mending tindakan tawuran saja nan bisa membikin mereka diakui," nilai Rissalwan.

Kembali ke prinsip kompetisi, Rissalwan meyakini para pihak terlibat tawuran lebih melakukanya untuk kebutuhan bumi maya namalain konten. Sebab saat diperhatikan, tindakan membawa sejata tajam (sajam) tidak lebih dari sekedar langkah menarik like dan komen.

"Bahkan bisa jadi mereka sebetulnya nggak berani tawuran. Kalau era sekarang ini, saya menduga, ada beberapa golongan nggak berani tawuran. Mereka hanya bawa sajam untuk nakutin publik di jalanan, gitu. Untuk melihatkan bahwa mereka unggul itu," kata Rissalwan. 

"Coba bayangkan, sajam satu separuh meter, apa bisa diayunkan sih? Kalaupun diayunkan, emang bisa terpat sasaran? Jadi, itu namanya bluffing effect ya," imbuh Rissalwan.

Urai Penyebab dan Jakarta Terbebas Tawuran

Rissalwan menegaskan, bukan langkah mudah mengatur sikap dan tenaga remaja berumur belasan. Bahkan mereka nan sudah memasuki usia 20 tahun pun bisa ikut dalam tindakan tawuran. Penyebabnya, daya berlebih dan tidak tersalurkan, biasanya tidak mempunyai pekerjaan tetap dan menganggur.

Selain menyediakan kesempatan kerja, Rissalwan mendorong peran orang tua di rumah, pendidik di sekolah dan penduduk alias organisasi di tempat tinggal dapat berkontribusi lebih efektif. Karena salah pola asuh, dapat membikin remaja tersebut berontak. 

"Anak muda itu perseorangan nan tetap berjuntai pada sistem-sistem di luarnya, seperti orang tua dan golongan sosial tempat dia tinggal. Jadi, nggak bisa disalahkan anak mudanya aja. Jadi nan benar, semua menjadi tanggungjawab berbareng orang-orang di sekelilingnya, orang tua, sekolah, alias tokoh-tokoh di dekat rumah. PR besar untuk kita mengedukasi, terutama dari orang tua," pesan pengajar sosiolog Universitas Indinesia ini.

Gerakan Bersholawat Wacana Baru Pemprov Jakarta Solusi Stop Tawuran

Gubernur Jakarta Pramono Anung mengamini, kondisi kotanya tidak baik-baik saja. Tawuran berulang membuatnya berpikir keras kenapa perihal itu selalu terjadi, apalagi dalam gelombang dua sampai tiga kali sepekan di letak nan sama.

Pramono lantas bakal membikin percontohan, di wilayah Manggarai, Jakarta Selatan. Dirinya hendak menggelar aktivitas 'Manggarai Bersholawat' dengan merangkul semua pihak terlibat duduk berbareng dan mencari jalan keluar dari nan sering menjadi pemicu tawuran.

"Saya bakal mengagas apa nan dinamakan Manggarai Bersolawat. Saya bakal undang kelompok-kelompok nan bertikai di sana. Ada RW 4, RW 5, RW berapa begitu. Duduk bareng, apa sih akar persoalan nan sebenarnya? Karena gak bisa hanya menyalahkan saja," kata Pramono saat ditemui di Jalan Surabaya, Jakarta Pusat, Selasa (13/5/2025).

Pramono menjelaskan, langkah Manggarai bersholawat adalah salah satu contoh. Nantinya, di wilayah lain nan terjadi tawuran bakal menggunakan pendekatan berbeda dengan menyesuaikan karakter masing-masing.

"Ya ini (Manggarai Bersholawat) kan baru contoh saja. Tentunya nan lain ada (cara berbeda)," ujar dia.

Saat ditanya apakah mungkin Jakarta bisa bebas dari tawuran, Pramono menyatakan dirinya bakal bertanggung jawab penuh kepada seluruh warganya. Karena itu, dia bakal mengurai akar masalah dari tawuran nan diyakini berasal dari kesulitan ekonomi nan dipicu tidak punya pekerjaan tetap. 

"Secara substansi, lantaran saya sudah mempelajari, salah satu aspek adalah ketidakberuntungan banyak anak-anak di sana minta maaf belum punya pekerjaan tetap," ungkap Pramono.

"Pokoknya saya bertanggung jawab terhadap penduduk Jakarta untuk memperbaiki itu," janji dia.

Infografis

Selengkapnya