Menperin Sebut Ri Bisa Hemat Rp 147 T Dari Proyek Kilang Raksasa 1 Juta Barel

Sedang Trending 23 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mendukung upaya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membangun beberapa kilang minyak dengan total kapabilitas 1 juta barel per hari. Upaya itu bermaksud meningkatkan ketahanan daya dan industri, terutama pada industri petrokimia.

Apalagi, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, selama ini industri petrokimia mempunyai peranan sangat krusial dalam memasok kebutuhan bahan baku ke sejumlah sektor industri lainnya.

"Kami sangat mendukung pembangunan refinery ini guna penguatan hulu di sektor petrokimia dalam rangka menuju substitusi impor, serta dapat berakibat positif pada penguatan nilai tambah dan investasi, hingga penyerapan tenaga kerja," kata Agus dalam keterangan tertulis, Kamis (13/3/2025).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Agus menjelaskan, pembangunan kilang minyak ini bakal mengoptimalkan produksi nafta nan menjadi kebutuhan bahan baku bagi sejumlah sektor industri. Menurutnya nafta adalah "mother of petrochemical", nan andaikan dapat diproduksi di dalam negeri maka bisa menghasilkan penghematan.

Total penghematan dari impor nafta dan produk-produk petrokimia sebesar US$ 9 miliar alias Rp 147 triliun (kurs Rp 16.400) per tahun. Selain itu pembangunan kilang juga berakibat pada pembuatan lapangan kerja dan peningkatan produksi nasional untuk kemandirian bahan baku farmasi.

Oleh lantaran itu, selain untuk mewujudkan visi pemerintah dalam upaya mempercepat program hilirisasi, pembangunan kilang minyak juga dipercaya menjadi game changer dalam mendorong pertumbuhan industri petrokimia di Indonesia.

"Tentu kami bakal berkoordinasi dengan Kementerian ESDM dan Kementerian Investasi mengenai adanya penambahan refinery ini. Pembangunan refinery tersebut bakal disebar di beberapa wilayah Indonesia," ungkapnya.

Perlu diketahui, nafta merupakan salah satu fraksi minyak bumi nan dapat digunakan sebagai bahan baku bensin alias petrokimia. Fraksi ini dihasilkan terutama melalui proses distilasi minyak mentah di Crude Distillation Unit (CDU). Saat ini, produksi nafta untuk 1 juta ton per tahun memerlukan sekitar 3,03 juta ton per tahun minyak mentah.

"Dalam proses cracking tersebut, dari minyak mentah itu bakal dihasilkan minimal 20 persen nafta. Ini juga tergantung dari proses pemanasan alias titik didihnya," ujar Menperin.

Sementara itu, hingga sekarang Indonesia hanya mempunyai enam kilang minyak, dan kesemuanya itu merupakan investasi nan sudah berumur sangat lama. Enam kilang minyak tersebut baru bisa memproduksi nafta sebesar 7,1 juta ton per tahun.

Sedangkan kebutuhan nafta nasional saat ini mencapai 9,2 juta ton per tahun, sehingga tetap dibutuhkan importasi sebanyak 2,1 juta ton. Artinya, diperlukan peningkatan kapabilitas produksi nafta di dalam negeri.

Saat ini terdapat beberapa proyek besar petrokimia nan segera beraksi dan memerlukan nafta kurang lebih 8 juta ton per tahun. Kemenperin telah mengusulkan ke Kementerian ESDM untuk membangun kilang minyak baru di wilayah Tuban, nan saat ini telah mempunyai pabrik petrokimia, ialah PT TPPI.

PT TPPI saat ini mempunyai dua mode produksi, ialah petrokimia dan bahan bakar. PT TPPI didesain untuk menjadi komplek petrokimia nan terintegrasi mulai dari produk-produk olefin dan produk-produk aromatis nan banyak digunakan untuk bahan baku tekstil dan farmasi serta bahan pelarut.

Sedangkan, akomodasi nafta menjadi olefin belum ada. Sehingga untuk mencapai integrasi perlu didirikan olefin center nan berbahan baku nafta di sini. "Artinya, Tuban ini merupakan pusat industri besar, dengan sektor utama meliputi semen, petrokimia, minyak dan gas, serta industri maritim," terang Menperin.

Hal tersebut sejalan dengan rencana PT Pertamina nan mengembangkan rencana proyek GRR, dan bakal menjadi pabrik terintegrasi nan bakal mengolah crude oil menjadi BBM dan produk petrokimia nan mempunyai nilai tambah tinggi.

(ily/ara)

Selengkapnya