ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Aldo punya kehidupan nan mapan menurut standar rata-rata masyarakat Indonesia. Dia punya gelar master dari universitas bergengsi di Inggris, penghasilan nan stabil dari studio arsitek nan dia dirikan, apartemen nan nyaman di pusat kota Jakarta, dan jaringan pertemanan nan luar biasa. Tapi, dengan semua pencapaian hidup tersebut, Aldo masih melajang di usianya nan sudah menginjak 35 tahun-- sesuatu nan dipertanyakan oleh family besarnya.
Terakhir kali berkencan dengan seorang wanita nan dia kenal dari aplikasi kencan online, Aldo jadi korban ghosting. Bayang-bayang pernikahan otomatis bubar. Sejak patah hatinya pada 2023 itu dia belum pernah berkencan lagi.
"Sekarang tiap mendekati Lebaran, rasanya anxious takut ditanya kapan nikah sama keluarga," ujarnya.
Meski angan untuk menikah dan membangun family tetap tetap ada, Aldo condong pasif dalam perihal asmara dan lebih memilih konsentrasi dengan karirnya.
"Saya menikmati saja apa nan saya jalani sekarang ini," katanya lagi.
Sama seperti Aldo, ada banyak milenial nan ditemui detikai.com mengaku kesulitan menavigasi kehidupan asmara di era modern dating. Inilah nan kemungkinan berkontribusi terhadap merosotnya nomor pernikahan di Indonesia. Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat nomor pernikahan di Indonesia terus mengalami penurunan selama sepuluh tahun terakhir. Pada 2023 terdapat 1,58 juta pernikahan di dalam negeri, artinya ada penurunan 7,51% dibanding 2022 (year-on-year/yoy).
Meski aplikasi kencan online ada di ujung jari, faktanya menemukan cinta di era digital jauh lebih rumit. Modern dating justru memunculkan masalah baru nan tidak pernah ada sebelumnya, seperti ghosting (istilah terkenal untuk seseorang nan menghilang tanpa penjelasan), hingga situationship (hubungan situasional nan kerap kali lebih dari kawan namun bukan pacaran).
Nia, 35 tahun, sudah jadi pengguna aktif di banyak aplikasi kencan online sejak lima tahun terakhir. Namun, nasib percintaan manager di sebuah perusahaan swasta di Jakarta tersebut terus menemukan jalan buntu. Alasannya macam-macam, mulai dari ketidaksesuaian value, pasangan nan tidak berani mengambil keputusan, hingga dibohongi soal status pernikahan.
Berharap menikah dalam waktu dekat, Nia mengambil langkah nan lebih berani demi menjemput cinta. Dia mendaftarkan diri di biro jodoh ahli nan berbasis di Singapura. Biaya keanggotaannya tidak murah. Nia bayar lebih dari Rp20 juta untuk mendapatkan jasa dating consultant plus kencan dengan calon pasangan nan telah diseleksi biro jodoh tersebut.
Sayangnya, meski sudah bayar mahal, usahanya mencari jodoh belum berhasil. "Memang secara background sudah dicek (oleh biro jodoh), tapi sifat tak menjamin cocok."
Aplikasi kencan bukan solusi instan
Foto: Ilustrasi aplikasi kencan. (Dok. Freepik)
Riset Populix baru-baru ini mengungkap bahwa 63% responden adalah pengguna aplikasi kencan online. Mayoritas dari mereka adalah generasi milenial.
Meski aplikasi tersebut menawarkan kemudahan untuk berkenalan dan berjumpa dengan orang baru, nan diharapkan menjadi calon pasangan, faktanya mereka bukanlah solusi instan.
"Banyak orang nan tak jujur dengan intensi mereka," kata Yaya, 33 tahun, merujuk pada pengguna aplikasi nan memasang label 'looking for relationship' padahal sebenarnya hanya menginginkan cinta semalam.
Yaya menggambarkan pengalamannya menggunakan aplikasi kencan online sebagai "traumatis."
Rencana pernikahan dengan seseorang nan dia kenal dari aplikasi kencan sekarang berubah menjadi sesi terapi rutin dengan psikolog setiap pekan.
Sementara bagi Stefani, 38 tahun, aplikasi kencan bukanlah tempat nan ideal untuk mengenal seseorang. "Malas kudu background check sama orang asing. Kalau ketemu langsung minimal sudah tahu dari circle sendiri," ujar pengusaha nan berdomisili di Tangerang Selatan tersebut.
"Kalau dipikir-pikir, algoritma dating app mungkin memang tidak dirancang untuk menemukan pasangan, tapi untuk bikin user tetap engage," kata Feri, pegawai swasta berumur 29 tahun di Jakarta.
Bukan hanya masalah ekonomi
Foto: Priscilla Du Preez via Unsplash
Ilustrasi kencan
Riset nan dilakukan Bumble, salah satu aplikasi kencan paling populer, menunjukkan bahwa ketidakpastian tentang masa depan-seperti keuangan, stabilitas pekerjaan, perumahan, dan perubahan iklim-memengaruhi kehidupan cinta para generasi muda. Sekitar 95% responden mengatakan bahwa kekhawatiran tentang masa depan memengaruhi keputusan mereka dalam menjalin hubungan asmara.
Meski finansial adalah aspek nan menjadi pertimbangan krusial dalam hubungan, perihal itu bukanlah tema utama di kembali keputusan melajang para jomblo usia matang nan ditemui detikai.com. Sebab, mereka sendiri punya keahlian ekonomi nan lebih dari cukup untuk bisa hidup dengan layak di kotanya masing-masing.
Para wanita nan melajang di usia matang, terutama, lebih berkekuatan untuk menolak konsep tradisional pernikahan. Sebab, berdikari secara finansial memberikan mereka kebebasan untuk tak terburu-buru mencari pasangan.
"Kalaupun menua sendirian juga enggak apa-apa. Saya mau membahagiakan diri sendiri," kata Desi, seorang pegawai BUMN berumur 31 tahun.
Psikolog klinis Rebeka Pinaima memandang ada sejumlah argumen nan membikin dating di era modern menjadi lebih rumit, salah satunya adalah sulitnya membangun genuine connection atau hubungan nan berarti lewat layar kaca.
Di era aplikasi kencan, kata Rebeka, percakapan nan terjalin condong superfisial. Karena itu, lebih susah untuk betul-betul mengenal musuh bicara.
"Di internet, seseorang bisa jadi sosok nan sangat berbeda, dan itu berpengaruh ke seberapa dalam kita bisa mengenal seseorang dan feel connected," katanya kepada detikai.com.
Dating fatigue
Foto: Ilustrasi Aplikasi Kencan. (Dok. Freepik)
Tema umum nan juga banyak ditemui di era aplikasi kencan adalah dating fatigue. Bumble mendeskripsikan dating fatigue sebagai kondisi emosional nan membikin seseorang merasa kecewa, tidak termotivasi, dan betul-betul putus asa dalam perjalanan "mencari jodoh".
Ahli menyebut perihal ini sebagai paradox of choice. Rebeka menjelaskan, aplikasi kencan seolah menawarkan opsi calon jodoh tak terhingga. Alih-alih memudahkan proses mencari pasangan, banyak pengguna justru merasa kewalahan dan merasa kesulitan menentukan pilihan.
"Semakin banyak pilihan, kita semakin condong kurang puas dan apalagi jadi takut membikin keputusan," kata dia.
"Akhirnya kita berkenalan dengan tiga hingga lima orang secara bersamaan, hasilnya kurang konsentrasi dan tidak sungguh-sungguh dalam mengenal musuh bicara."
Jomblo nan berkekuatan dan bahagia
Menjadi jomblo di usia matang tak lagi menjadi momok bagi banyak anak muda. Alih-alih merasa frustrasi, Tanti (36 tahun) merasa status belum menikah justru berakibat positif terhadap karirnya.
"Saya merasa ini sebuah nilai plus lantaran saya bisa lebih konsentrasi ke karir tanpa kudu memikirkan urusan rumah tangga," kata dia.
Apa nan ditunjukkan Tanti merupakan corak self-compassion nan menurut Rebeka sangat krusial agar tetap mempunyai pandangan positif dalam hidup.
Dia menyarankan untuk berasosiasi dengan organisasi alias mencari kegemaran baru untuk meningkatkan kepercayaan diri dan membangun keadilan diri.
"Fokus pada pengembangan diri itu nan membantu kita untuk menarik orang nan lebih baik alias orang nan tepat pada waktu nan tepat."
Rebeka juga menekankan pentingnya menyadari bahwa menikah bukanlah kompetisi. Menyadari perihal ini bakal membantu kita untuk berakhir membandingkan hidup dengan orang lain.
"Saya mau mendorong orang untuk memandang bahwa mungkin menjadi single adalah rezekinya saat ini. Kuncinya adalah menjadi independen secara emosional sehingga kita tuh nyaman sama diri kita sendiri."
(hsy/hsy)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Industri Kecantikan Kian Glowing, Produk Lokal Tampil Global
Next Article Raline Shah Dikabarkan Pernah Menikah & Sudah Cerai? Ini Faktanya