Lonjakan Pendatang Capai 129 Persen, Jakarta Masih Jadi Magnet Bagi Perantau?

Sedang Trending 1 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Jakarta kembali dibanjiri gelombang pendatang baru pasca-Lebaran 2025. Berdasarkan info Dinas Perhubungan (Dishub) Jakarta, jumlah pendatang usai arus kembali tahun ini melonjak tajam hingga 129 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Syafrin Liputo, menjelaskan bahwa lebih dari 130 ribu penumpang tercatat tiba melalui tujuh terminal utama Jakarta selama masa arus balik. Padahal, pada periode nan sama tahun lalu, jumlahnya hanya sekitar 57 ribu orang.

Peningkatan jumlah pendatang baru ke Jakarta ini turut diamini oleh Gubernur Jakarta Pramono Anung. Mantan Sekretaris Kabinet (Seskab) ini mengaku tidak kaget dan tak mempermasalahkan adanya para ‘orang-orang’ baru ini masuk ibu kota.

Menurutnya, lonjakan ini erat kaitannya dengan meningkatnya minat masyarakat dari beragam wilayah untuk mencari pekerjaan di Jakarta.

"Seperti nan saya duga, memang ada peningkatan. Karena daerah-daerah sekarang ini banyak orang nan mencari pekerjaan,” ucap Pramono saat ditemui di Taman Langsat, Jakarta Selatan, Jumat, 11 April 2025.

Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah, menilai lonjakan pendatang Jakarta menjadi sinyal bahwa perekonomian di wilayah tengah tidak dalam kondisi nan baik. Menurutnya, kejadian urbanisasi tersebut salah satunya dipicu oleh maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan di daerah.

“Menurut saya ini mengindikasikan bahwa di wilayah kondisinya sudah tidak baik-baik saja perekonomiannya. Artinya, kan ini akibat dari di wilayah itu banyak sekali PHK. Banyak perusahaan-perusahaan seperti nan terakhir di Cirebon itu. Kan beberapa hari itu mogok, terus perusahaannya kan ditutup semua. Itu kan banyak berfaedah kondisi ekonomi di wilayah itu sudah tidak kondusif. akhirnya mereka berurbanisasi,” ujar Trubus kepada detikai.com, Kamis (17/4/2025).

Di sisi lain, Trubus juga menyinggung soal peran pemerintah wilayah nan menurutnya belum dapat memaksimalkan dana desa. Dana tersebut, semestinya bisa digunakan untuk menciptakan lapangan kerja agar penduduk tidak kudu merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta.

“Yang kedua, kita ini kan sebenarnya ada biaya desa nan digelontorkan setiap tahun itu. harusnya tidak ada argumen bagi daerah-daerah untuk terus mengekspor tenaga kerjaannya. jika ini terus berjalan kan menyebabkan jika sampai 129 persen naikknya, kondisinya agak rawan ini. Karena kondisinya kemudian di sini (Jakarta) juga tidak ada pekerjaan,” katanya.

“Kalau begitu kan berfaedah ini harapannya ada pada UMKM. UMKM ini kan artinya perlu kerja keras dari pemerintah daerah. Dalam ini, pemerintah wilayah di wilayah Jabodetabek seperti ini. Karena jika lonjakannya sampai segitu besarnya, berfaedah kan lapangan pekerjaannya kudu tersedia, Kalau nggak tersedia ya, ujung-ujungnya kelak mereka jadi pengangguran,” lanjutnya.

Daya Tarik Jakarta bagi Pendatang

Adapun mengenai daya tarik Jakarta sebagai tujuan utama urbanisasi, Trubus menilai hal itu tidak terlepas dari statusnya nan tetap menjadi ibu kota, sehingga kesempatan investasi sangat besar, dan mau tidak mau Jakarta tetap bakal menjadi magnet bagi para pendatang.

“Karena asumsinya Jakarta itu tetap ibu kota sampai hari ini. Dan lantaran tetap ibu kota, berfaedah infrastrukturnya tetap cukup memadai di sini. Sehingga potensi bakal terjadinya investasi besar-besaran dari luar kan sangat besar, Apalagi kemudian, nan kedua, kondisi keamanan di Jakarta kan relatif terjamin belakangan ini, ketertiban umumnya. Jadi di situ harapannya kemudian banyak penanammodal nan masuk. Jadi ini berarti, Jakarta tetap punya daya tarik,” jelas Trubus.

Ia menilai, Jakarta selama ini sudah memberi training dan keahlian bagi penduduk para pendatang. Namun masalahnya, pembiayaan training tersebut belum melibatkan pemerintah wilayah asal.

"Ini kan membebani Jakarta jika terus-terusan. Jakarta sendiri nan menyelenggarakan tanpa ada support dari wilayah asal. Ini kan nan paling lezat jadi wilayah asal, Karena banyak orang ini dari Bogor ikut training di Jakarta. Orang dari Bekasi ikut di Jakarta. Harusnya training diselenggarakan oleh pemerintah wilayah masing-masing alias bekerjasama dengan wilayah asal,” pungkasnya.

Sementara itu, Pakar Tata Kota Universitas Trisakti, Yayat Supriatna menilai, perlu ada penjelasan apakah nomor lonjakan pendatang betul-betul mencerminkan pendatang baru alias sekadar mereka nan ikut arus kembali mudik.

“Data itu kudu kita cek lagi, info pendatang baru alias info dari arus balik? Nah, lantaran kan kita tidak melakukan pengecekan mengenai asal tujuan. Jangan lupa mereka itu adalah orang nan kembali dari mudik kemarin, itu kan pencatatan berasas jumlah kehadiran jadi kan tidak mencerminkan pendatang baru alias tidak,” kata Yayat saat berbincang dengan detikai.com, Kamis (17/4/2025).

Yayat menekankan bahwa arti pendatang secara administratif hanya bisa dibuktikan melalui laporan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil). Artinya, mereka nan betul-betul pindah domisili wajib melakukan pelaporan identitas secara resmi.

"Kalau jumlah pendatang itu berasas sistem pelaporan di Dukcapil. Nah, kenapa itu dicatat? Karena mereka nan pindah dan semua punya identitas. Mengapa butuh surat keterangan pindah? Karena jadi alamat untuk kerja, Dia perlu KTP, dia perlu identitas nan jelas. Jadi pencatatan pendatang nan melakukannya adalah oleh Dukcapil," jelas Yayat.

Lebih lanjut, Yayat mengingatkan bahwa pendatang nan tidak melaporkan diri bakal mengalami kesulitan administratif, terutama saat melamar pekerjaan alias mengakses jasa publik.

"Pertanyaannya kan sederhana. KTP-nya mana? Nah, maka artinya di sini pencatatan masyarakat itu menjadi penting. Jadi, jika mereka nan tidak terdata, itu artinya mereka tidak diregister sebagai masyarakat penduduk Jakarta," ujarnya.

Fenomena Komuter dan Numpang Alamat

Yayat juga menyoroti kejadian komuter dan penduduk nan tinggal di Jakarta tetapi tidak mempunyai KTP Ibu Kota. Ia mencontohkan dirinya sendiri sebagai masyarakat Bogor nan bekerja di Jakarta dan tercatat sebagai komuter harian.

"Seperti saya, saya commuter. Saya bukan orang Jakarta, tapi saya tercatat sebagai masyarakat kota Bogor nan commuter. Nah, itu kan jumlahnya nyaris 3 juta nan commuter ke Jakarta setiap harinya," ungkap Yayat.

Ia juga mengungkapkan bahwa banyak masyarakat ber-KTP Jakarta sejatinya tidak tinggal di alamat sesuai dokumen. Mereka kerap numpang alamat alias tinggal di kontrakan, kos-kosan, apalagi rumah keluarga.

"Apa artinya? Artinya Jakarta itu jika dilihat, kenapa antara domisili dengan alamat domisili rumah sekarang itu berbeda? Karena info dari BPS menunjukkan di Jakarta itu hanya 56 persen orang nan mempunyai rumah. 44 persen itu nyewa, ngontrak, kos, numpang, dan sebagainya dan itulah kenapa pendatang banyak nan mau punya rumah susah di Jakarta," beber Yayat.

"Jadi Jakarta ini 44 persen warganya itu tidak mempunyai rumah, tinggal dalam konteks ngontrak, numpang, alias apa pun itu nan menunjukkan bahwa rumah di Jakarta itu makin mahal, makin susah terjangkau," imbuhnya menandasi.

Pendatang Baru di Jakarta Harus Punya Surat Pindah

Sebelumnya, Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan mengingatkan pendatang baru kudu mempunyai surat pindah alias Surat Keterangan Pindah Warga Negara Indonesia (SKPWNI) dari wilayah asal jika mau tinggal di Jakarta.

"Jika mau pindah kudu mempunyai SKPWNI alias surat pindah dari wilayah asal," kata Kepala Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Jakarta Selatan Muhammad Nurrahman seperti dilansir Antara.

Nurrahman mengatakan pihaknya memberikan persyaratan kepada masyarakat nan bakal ke DKI Jakarta untuk mempersiapkan arsip kependudukan untuk memudahkan pelayanan.

Terlebih, pemerintah sudah tidak lagi melaksanakan operasi yustisi sejak 2018 lalu. Maka itu, pentingnya pendatang baru mempunyai arsip kependudukan.

Dia juga mengimbau kepada mereka nan tidak berambisi pindah untuk tetap melapor kepada RT/RW setempat.

"Sedangkan, bagi mereka nan tidak berambisi pindah bakal disebut sebagai masyarakat non permanen dengan tetap melapor ke RT/RW maupun Dukcapil setempat," ujarnya.

Lebih lanjut, Sudin Dukcapil Jakarta Selatan juga menggencarkan jemput bola kepada pendatang baru dalam upaya melaksanakan tertib manajemen kependudukan (adminduk).

Kegiatan ini sudah dilaksanakan sejak Rabu (9/4) dan bakal dilakukan pertimbangan usai dua minggu berjalan.

"Dalam dua minggu ini kita upayakan sosialisasi ke RT/RW, termasuk melalui media sosial sehingga penduduk diharap sudah bisa langsung ke loket-loket Dukcapil di kelurahan," ucapnya.

Selengkapnya