ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Instrumen investasi sukuk dan saham dapat menjadi pilihan dalam mengelola aset dengan kebutuhan dan profil penanammodal tertentu. Meskipun sama-sama merupakan instrumen investasi pasar modal, namun keduanya mempunyai perbedaan.
Sukuk merupakan investasi dalam corak surat berbobot negara nan prinsipnya menerapkan prinsip syariah. Merujuk dari Fatwa Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor 137/DSN-MUI/IX/2020 tentang SUKUK. Dalam fatwa tersebut menyebut sukuk adalah Surat Berharga Syariah alias Efek Syariah.
Bentuk investasinya berupa sertifikat nan menjadi bukti kepemilikan atas kepemilikan aset setelah penerbit sukuk menerima biaya dari investor. Nilai biaya investasi nan diberikan penanammodal merupakan inisialisasi kewenangan alias bagian kepemilikan aset.
Aset sukuk, sebagai pedoman publikasi sukuk berpendirian syariah. Aset ini dimiliki oleh pemegang sukuk alias sukuk holder. Nilai sukuk merupakan inisialisasi kepemilikan sukuk terhadap aset sukuk, bukan nilai utang.
Sukuk bakal berubah menjadi utang alias piutang (dain) jika aset sukuk berubah menjadi piutang pemegang sukuk
Umumnya ada jangka waktu tertentu nan tertulis dalam publikasi sukuk, selain jika ada kesepakatan lain dalam janji alias jika diatur dalam peraturan perundang-undangan nan berlakuz
Penerbit sukuk mempunyai tanggungjawab untuk bayar pendapatan kepada pemegang sukuk dalam corak bagi hasil alias margin beserta biaya sukuknya saat jatuh tempo sesuai skema akad.
Bagi hasil alias margin nan berasal dari janji musyarakah alias mudharabah berasal dari aktivitas upaya nan menjadi aset sukuk.
Adapun dalam proses aktivitas investasi dan aktivitas usahanya, dalam norma Islam telah ditetapkan tiga prinsip utama ialah prinsip kepemilikan, prinsip bebas riba, serta prinsip akibat dan imbalan. Ketiga prinsipnya pun kudu ada di dalam aktivitas investasi sukuk.
Sementara saham merupakan salah satu instrumen investasi nan berpotensi menambah kekayaan. Namun, jika tidak dilakukan dengan pemahaman nan memadai, akibat kerugian dan kebangkrutan bisa mengintai.
Keuntungan berinvestasi di saham antara lain capital gain dan dividen. Namun sebelum memulai investasi ini, krusial bagi seseorang untuk memahami profil risikonya serta menguasai beragam jenis analisis.
Imbal hasil saham telah terbukti bertahun-tahun terlihat sejak awal tahun 2000, IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) telah bertumbuh 876%. Pertumbuhan IHSG sejalan dengan pertumbuhan nilai intrinsik dari esensial perusahaan nan terdaftar di bursa.
Memiliki nilai intrinsik membikin penanammodal dapat menilai aset lebih relevan dan memang terdapat produk dibalik aset finansial nan dimiliki. Misal, membeli 1% saham Indofood, artinya penanammodal tersebut mempunyai kepemilikan 1% Indofood.
Peraturan nan lebih matang disebabkan saham telah ada sejak beberapa dasawarsa sebelumnya, sehingga peraturan telah diperbarui untuk keamanan investor. Misal, peraturan penurunan nilai saham mempunyai pemisah sampai 25% sehari, sehingga penanammodal tidak dapat rugi besar dalam sehari (pra pandemic).
Pasar tidak bergerak sesuai nilai intrinsik merupakan akibat berinvestasi di saham. Pasar terkadang bergerak berbeda arah akibat adanya sentimen negatif. Misal, saham perbankan Indonesia ikut turun, padahal valuasi murah dan untung bersihnya bertumbuh, penurunan disebabkan kegagalan Sillicon Valley Bank.
Potensi untung nan lebih rendah dibanding mata uang digital secara jangka pendek disebabkan tingginya volatilitas kripto. Kripto nan sigap mengalami penurunan dan kenaikan otomatis bakal berpotensi memberikan untung besar.
Sedangkan, saham nan pergerakan hariannya telah diatur batas Auto Reject Atas dan Bawah (ARA dan ARB) bakal membatasi volatilitas secara harian.
(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Berkah Ramadan, Investasi Sektor Mana Nih nan Bakal "Cuan"?
Next Article Bos BI: RI Sudah Jadi Penerbit Sukuk Terbesar Dunia, Tapi..