Krisis Partai Oposisi Di Ruu Tni Dan Perlawanan Masyarakat Sipil

Sedang Trending 9 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Pembahasan Revisi UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 terus dilanjutkan DPR dan pemerintah di tengah kritik publik. Sejumlah perubahan pasal dalam RUU TNI disorot, dinilai bakal menghidupkan kembali dwifungsi TNI seperti di era Orde Baru (Orba).

Menurut DPR dan pemerintah, hanya ada tiga pasal nan diubah dalam RUU TNI, ialah Pasal 3, Pasal 53, dan Pasal 47. Pasal itu berangkaian dengan kedudukan Kementerian Pertahanan, lingkup baru tempat TNI aktif boleh bertugas, dan soal usia prajurit.

DPR dan pemerintah pun kompak membantah RUU TNI tidak bakal mengembalikan dwifungsi prajurit. Namun, koalisi masyarakat sipil meragukan klaim tersebut. Terlebih, pembahasan RUU TNI dinilai dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak transparan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penilaian koalisi sipil tentang RUU TNI bakal membangkitkan kembali dwifungsi prajurit bukan tanpa alasan. Sebab, ada tambahan lima pos kementerian/lembaga nan sekarang bisa diisi prajurit aktif.

Selain itu, pada Jumat (14/3) dan Sabtu (15/3), Panja RUU TNI dan pemerintah membahas RUU TNI secara tertutup di Hotel Fairmont, Jakarta.

Hal menarik, meski memantik kontroversi luas, sejauh ini tidak ada satu pun fraksi partai di parlemen nan menolak alias apalagi sekadar mengkritik RUU TNI.

PDIP dan Demokrat nan diharapkan bersuara kritis nyatanya tak bicara banyak. Bahkan, Ketua Panja RUU TNI adalah Utut Adianto nan merupakan politikus PDIP.

PDIP diharapkan menolak lantaran selama ini dianggap menjadi oposisi setelah kalah pada Pilpres 2024.

PDIP juga dianggap sebagai partai nan mendukung supremasi sipil dan berkedudukan dalam menghapus Dwifungsi ABRI Orde Baru. Namun, di parlemen, tak ada satu pun bunyi kritis keluar dari partai.

Sementara itu, Demokrat juga diharapkan menolak karena selama ini Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu menyatakan penolakan terhadap prajurit aktif nan masuk ke dalam pemerintahan. SBY konsisten mengatakan prajurit aktif kudu mundur dari TNI jika mau menduduki kedudukan sipil.

Nihil oposisi

Pengamat Politik Universitas Andalas Asrinaldi menduga ketiadaan oposisi dalam pembahasan RUU TNI terjadi lantaran parpol tidak berani menerima akibat jika berlawanan dengan pemerintah.

"Partai politik kita ini kan tidak tahan berada di luar pemerintahan, sehingga dia ya ikut-ikut saja, kelak di akhir-akhir jika seandainya keluar baru dia nyesal," kata Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Selasa (18/3).

Dia menilai sikap Demokrat mendukung RUU TNI lantaran pandangan SBY tak sepenuhnya bisa dijalankan anaknya, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono.

Terlebih, kata dia, Demokrat juga menjadi koalisi pemerintahan nan sudah mendukung Presiden Prabowo Subianto sejak Pilpres 2024.

"SBY itu berbeda dengan AHY, walaupun dia ketua majelis tinggi tapi tetap saja jika seandainya Demokrat menjadi bagian pemerintahan ya tentu dia tidak bakal berani untuk vokal lantaran ini agendanya area pemerintahan berkuasa," ucap Asrinaldi.

"Kecuali demokrat berani untuk mengatakan sikapnya dan jika dia keluar dari koalisi itu baru sikap nan kita harapkan," sambungnya.

Senada, Direktur Trias Politika Agung Baskoro menilai wajar jika PDIP tidak menolak pembahasan RUU TNI.

Agung beranggapan PDIP sengaja membedakan sikap antara DPP PDIP nan menggaungkan perlawanan dengan sikap Fraksi PDIP nan memberikan support sebagai mitra strategis.

"Inilah nan bakal terus diorkestrasi oleh PDP untuk menjaga posisi tawarnya termasuk dalam konteks pembahasan Revisi Undang-undang TNI ya, nan melangkah mulus tanpa ada halangan apapun," kata Agung.

Lebih lanjut, Agung menilai sikap SBY nan seakan-akan berseberangan dengan Fraksi Demokrat dalam RUU TNI ini juga bukan tanpa sebab. Ia menilai Demokrat tidak mau gegabah dengan langsung menyampaikan penolakan terhadap pembahasan RUU TNI.

"Jadi saya memandang demokrat mencermati rumor ini dengan cukup hati-hati sehingga tidak membikin relasi mereka dengan pemerintah ataupun koalisi Indonesia Maju Plus nan mereka menjadi personil menjadi kurang solid ya," ujar dia.

Opsi perlawanan dua babak

Tanpa oposisi di parlemen, harapan untuk mengawal pembahasan RUU TNI secara kritik sekarang bertumpu di masyarakat sipil,

Agung dan Asrinaldi sama-sama menilai koalisi masyarakat sipil tetap mempunyai dua kesempatan untuk mengawal apalagi menolak RUU TNI. Asrinaldi menilai penolakan sebelum RUU TNI disahkan dapat dilakukan dengan menggelar demonstrasi.

Ia menilai upaya tersebut dapat menjadi langkah nan efektif untuk menolak RUU TNI. Apalagi jika demonstrasi penolakan tersebut diikuti oleh ribuan masyarakat.

Asrinaldi menyinggung langkah tersebut pernah sukses ketika masyarakat sipil menggelar demonstrasi agar DPR mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai patokan pilkada.

"Kalau seandainya massanya banyak sama halnya dengan undang-undang pilkada RUU Pilkada itu, ya akhirnya kan dihentikan dan itu pun sangat berjuntai kepada perintah pelaksana dalam perihal ini Presiden Prabowo lantaran beliau punya agenda mengenai dengan ini," jelas dia.

Selain itu, Agung menilai upaya penolakan lain bisa dilakukan jika demonstrasi tidak didengar DPR. Upaya penolakan tersebut dapat ditempuh dengan melakukan judicial review (JR) ke MK.

"Kalau memang mentok, kita bawa revisi itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji materi ya dan itu lebih produktif saya kira agar patokan nan tidak kita inginkan bisa kembali seperti semua," tutur dia.

(mab/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya