ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Guru Besar Universitas Pertahanan (Unhan) Kolonel Sus Prof Mhd Halkis MH mengusulkan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 (UU TNI).
"Uji materi UU TNI diajukan lantaran dianggap bertentangan dengan konstitusi dan mengekang kewenangan prajurit sebagai penduduk negara," kata Mhd Halkis dalam keterangannya, Sabtu (15/3).
Mhd Halkis mengusulkan uji materi UU TNI lewat kuasa hukumnya Izmi Waldani dan Bagas Al Kautsar, dengan Nomor Registrasi 41/PAN.ONLINE/2025. Pengajuan ini juga sudah dimuat dalam laman resmi MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Halkis nan juga perwira aktif itu, Pasal 2 huruf d UU TNI mendefinisikan tentara ahli sebagai prajurit nan terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya.
Menurutnya arti itu justru tidak tepat secara logika lantaran menggunakan pendekatan negatif, tidak menjelaskan apa arti tentara ahli secara positif, melainkan hanya menyebut apa nan tidak boleh dilakukan. Sehingga, sambungnya, ada kesalahpahaman dalam memahami profesionalisme militer.
"Tentara ahli kudu dimaknai sebagai prajurit nan menjalankan tugas negara secara netral, berbasis kompetensi, dan mempunyai kewenangan dalam aspek ekonomi serta kedudukan publik," katanya.
Berikutnya dalam Pasal 39 ayat (3) UU TNI melarang prajurit untuk berbisnis. Menurutnya, pasal 39 ayat 3 UU TNI itu bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, nan menjamin kewenangan setiap penduduk negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan nan layak.
Dia mengatakan di Amerika Serikat dan Jerman, prajurit justru boleh mempunyai upaya dengan sistem pengawasan nan jelas. Atas dasar itu dia mempertanyakan argumen Indonesia melarang tentara berbisnis, sementara agunan kesejahteraan bagi prajurit tidak memadai.
"Prajurit juga mengalami ketimpangan ekonomi akibat larangan ini, terutama pascapensiun. Jika larangan tetap berlaku, negara wajib memberikan agunan ekonomi nan layak bagi prajurit selama bekerja dan setelah purna tugas," katanya.
Selain itu, kata Halkis, pada Pasal 47 ayat (2) UU TNI, nan membatasi kedudukan sipil bagi prajurit aktif hanya pada tujuh lembaga seperti Kemenko Polhukam, BIN, Lemhannas, dan BNN. Aturan ini tidak sejalan dengan prinsip meritokrasi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, nan menjamin kewenangan penduduk negara atas kesempatan nan sama dalam pemerintahan.
"Banyak kedudukan sipil nan memerlukan skill teknokratis dari prajurit TNI, seperti di Kementerian Pendidikan alias Kementerian Luar Negeri, namun patokan ini membatasi kesempatan bagi mereka nan mempunyai kompetensi di luar tujuh lembaga tersebut," katanya.
Menurutnya jika MK mengabulkan permohonan ini, beberapa perubahan besar dapat terjadi, konsep profesionalisme militer bakal lebih jelas dan berbasis prinsip konstitusi serta keadilan. Selain itu, kewenangan ekonomi prajurit lebih fleksibel, diberlakukan sistem pengawasan ketat, alias negara wajib memberikan kesejahteraan nan lebih baik.
Prajurit TNI apalagi memperoleh kesempatan pekerjaan nan lebih luas, prajurit dapat menduduki kedudukan sipil berasas kompetensi.
"Reformasi UU TNI melalui keputusan MK diyakini dapat menjadi dasar untuk merevisi UU TNI agar lebih sesuai dengan tuntutan zaman, sekaligus menjadi preseden krusial bagi reformasi ketatanegaraan di Indonesia," kata Halkis.
(antara/kid)
[Gambas:Video CNN]