Koalisi Sipil: Usul Gelar Pahlawan Soeharto Minim Partisipasi Publik

Sedang Trending 12 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) menolak dalih Kementerian Sosial bahwa proses pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto telah dilakukan secara umum dan berasas kajian akademik.

Koalisi nan menolak Soeharto dijadikan pahlawan nasional ini menyatakan klaim Kemensos bertolak belakang dengan realita di lapangan.

"Prosedur tersebut condong berjalan secara tertutup, elitis, dan minim partisipasi publik nan luas dan bermakna," ujar Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya selaku perwakilan dari koalisi dalam siaran pers-nya dikutip Jumat (2/5).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pernyataan tersebut sekaligus merespons pernyataan Menteri Sosial Saifullah Yusuf nan menyebut Soeharto berkesempatan mendapatkan gelar pahlawan nasional.

Dimas mengungkapkan penolakan publik seperti dari GEMAS nan secara konsisten menyuarakan akuntabilitas kasus kejahatan kewenangan asasi manusia (HAM) era Soeharto dan aktif menolak gelar pahlawan kepada Soeharto sejak awal reformasi, telah diabaikan.

Faktanya, terang dia, tidak pernah ada forum publik alias obrolan terbuka nan transparan, padahal Pasal 2 huruf h Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan menjelaskan pemberian Tanda Kehormatan kudu dilakukan secara transparan, terbuka, dan dapat dikontrol secara bebas oleh masyarakat luas.

Dimas menuturkan pihaknya turut menyoroti proses pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan oleh negara dalam beberapa tahun terakhir semakin menunjukkan kecenderungan politis dan dilakukan secara tertutup, tanpa memperhatikan rekam jejak calon penerima nan bermasalah.

Pemberian Bintang Jasa Utama kepada Eurico Guterres tahun 2021 serta tanda kehormatan melalui pemberian pangkat spesial Jenderal Kehormatan Bintang Empat kepada Prabowo Subianto menunjukkan preseden jelek dalam pemberian penghargaan negara tanpa pedoman akuntabilitas.

Bahkan, Mahkamah Agung dalam putusan kasasi Nomor: 638 K/TUN/KI/2024 tanggal 15 Oktober 2024 telah menegaskan bahwa info mengenai pemberian penghargaan kepada Eurico bukanlah info rahasia dan kudu dibuka ke publik --yang hingga saat ini putusan tersebut belum dilaksanakan oleh Kementerian Sekretariat Negara secara patuh.

Tidak hanya soal keterbukaannya, pada gugatan nan KontraS ajukan terhadap pemberian pangkat spesial juga ditemukan praktik nan bertentangan dengan Undang-undang nan berlaku-baik Undang-undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan maupun Undang-undang TNI --tidak ada dasar norma nan mengatur kenaikan pangkat kehormatan bagi purnawirawan TNI seperti Prabowo, nan telah diberhentikan dari militer aktif sejak 1998.

"Kini, jangan biarkan preseden jelek tersebut dilanggengkan untuk memberikan gelar pahlawan nasional untuk 'Sang Jenderal Jagal'," ucap Dimas.

"Jika gelar pahlawan nasional betul-betul diberikan kepada Soeharto, maka itu bakal menjadi corak legitimasi simbolik atas politik kekuasaan nan dibangun di atas penderitaan rakyat," sambungnya.

Sesuai Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan serta patokan pelaksanaanya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010, gelar tersebut tidak hanya memberi kewenangan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan, tetapi juga membawa kewenangan finansial bagi mahir waris nan dananya berasal dari APBN alias duit pajak rakyat.

"Artinya, pajak rakyat-termasuk nan dibayarkan oleh korban dan family korban Orde Baru-akan digunakan untuk menghormati koruptor dan penjahat HAM sementara family korban hidup tanpa keadilan dan ketidakpastian hukum," kata Dimas.

Ia menegaskan negara tidak semestinya memberikan pengakuan simbolik, politik, dan finansial kepada aktor-aktor nan telah terbukti menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar kewenangan asasi manusia.

Kata dia, memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukan hanya corak pemutarbalikan sejarah, tetapi juga sebuah penghinaan terhadap perjuangan reformasi, nilai-nilai demokrasi, serta luka kolektif bangsa ini.

"Kita tidak bisa membiarkan sejarah dibengkokkan demi kepentingan politik elite semata dan selalu permisif terhadap kejahatan pelanggaran HAM di Indonesia," ujar Dimas.

Dilansir dari laman change.org, Jumat (2/5) pukul 10.48 WIB, setidaknya sudah ada 5.645 nan menandatangani penolakan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Petisi tersebut dibuat oleh GEMAS.

Usul pemberian gelar terhadap Soeharto memicu pro dan kontra di ruang publik. Kelompok nan menolak meyakini Soeharto tak layak menyandang gelar pahlawan nasional mengingat rekam jejaknya selama 32 tahun memimpin. 

Merespons perihal tersebut, Putri mantan Presiden ke-2 Soeharto, Titiek Soeharto mengaku menyerahkan sepenuhnya keputusan status Soeharto kepada pemerintahan Prabowo Subianto.

"Alhamdulillah. Insyaallah itu kejadian," kata Titiek di kompleks parlemen, Selasa (22/4).

Menurut Titiek, diangkat alias tidak, Soeharto bakal tetap menjadi pahlawan bagi banyak orang. Dia menganggap Soeharto telah memberikan banyak jasanya kepada bangsa dan negara.

"Buat kami keluarga, diberi gelar alias tidak diberi gelar, Pak Harto adalah pahlawan buat kami dan saya percaya pahlawan buat berjuta-juta rakyat Indonesia nan mencintai beliau," katanya.

(ryn/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya