Koalisi Gelar Aksi Di Kemenbud, Kritik Keras Penulisan Sejarah Ulang

Sedang Trending 6 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com --

Massa dari Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggelar tindakan unjuk rasa di depan Gedung Kementerian Kebudayaan.

Mereka menolak wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto serta mengecam penulisan ulang sejarah nan dinilai menghapus jejak pelanggaran HAM masa Orde Baru.

Dalam aksinya, koalisi nan terdiri dari sejumlah organisasi seperti KontraS, YLBHI, GEMAS, Perempuan Mahardhika, hingga Perpustakaan Jalanan Jakarta itu menggelar beragam aktivitas mulai dari orasi, pembacaan kitab sejarah bersama, pagelaran teatrikal, hingga penyerahan arsip sejarah kepada Kementerian Kebudayaan pada Kamis (26/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kecaman terhadap wacana gelar pahlawan untuk Soeharto juga diperkuat oleh kritik terhadap pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon nan menyebut pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998 hanyalah rumor.

Kepala Divisi Pemantauan Impunitas KontraS Jane Rosalina menyebut narasi semacam ini rawan lantaran berpotensi menutupi kebenaran sejarah serta menyakiti para korban dan keluarganya.

"Selama 32 tahun kepemerintahannya (Soeharto) begitu otoriter, begitu represif, dan menyantap banyaknya korban di era orde baru nan sampai sekarang itu belum diselesaikan oleh negara. Kita datang untuk mendidik penguasa bahwa sejarah bukan hanya berasal dari narasi kekuasaan, tapi juga bunyi korban nan patut disuarakan," kata Jane.

Hal senada disampaikan oleh perwakilan Perpustakaan Jalanan Jakarta, Vero nan menyoroti pernyataan Fadli Zon mengenai sejarah bukan milik aktivis HAM.

"FadliZon bilang sejarah bukan milik aktivis ham, ya memang bukan. Tapi milik semua masyarakat indonesia, utamanya bagi mereka nan menjadi korban dan family korban pada tragedi kejahatan kemanusiaan," ujarnya.

Ia menegaskan bahwa buku-buku sejarah nan mereka gelar hari itu adalah corak perlawanan terhadap upaya penghapusan sejarah.

"Buku menjadi simbol perlawanan bagi mereka nan mau mengacak random sejarah, bagi mereka nan mau sejarah kita hanya dinilai baik-baik saja. Ketika bangsa indonesia sudah berani mengakui apa nan terjadi di masa lalu, maka kita dengan bangga bisa melangkah berbareng negara ini. Bagaimana caranya kita sebagai masyarakat indonesia bisa melangkah ketika luka-luka di masa silam itu terus disangkal?" lanjut Vero.

Sementara itu, perwakilan dari Perempuan Mahardhika menyatakan penolakan mereka terhadap penulisan ulang sejarah nan dianggap menghapus realita pahit masa lalu.

"Kita kudu lantang menyebut hal-hal nan dicoret habis-habisan sama sejarah. Karena jika bukan kita nan teriak lantang, sejarah bakal menuliskan perihal nan jauh sekali dari faktanya," katanya.

Ia juga menyinggung laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) nan mencatat terdapat sekitar 800 korban pemerkosaan Mei 1998, namun tak diakui oleh pejabat negara.

"Kita di sini mau menghajar Fadli Zon lantaran dia selalu asbun (asal bunyi) soal sejarah, apalagi deny dan menyangkal pemerkosaan Mei 1998. Pada Mei 1998 ada rilis dari TGPF ada sekitar 800-an korban dan itu tidak diakui, katanya itu adalah mitos dari masyarakat. Masalahnya adalah itu bukan perkara sejarah milik aktivis, tapi sejarah nan betul memang begitu adanya," tegasnya.

Aksi juga dimeriahkan dengan pagelaran teatrikal simbolik seperti membakar kertas-kertas, membentangkan benang kepada abdi negara kepolisian nan berjaga, hingga menampilkan patung manusia berkepala babi sebagai corak kritik terhadap manipulasi sejarah.

Sebagai penutup, perwakilan koalisi menyerahkan dua arsip arsip sejarah kepada perwakilan Direktorat Sejarah Kementerian Kebudayaan Agus.

Agus menyampaikan bahwa aspirasi dan masukan dari publik bakal diteruskan ke pimpinan.

"Tentu masukan-masukan nan positif itu krusial bagi kami Kementerian Kebudayaan. Kami terima arsip ini nan telah disampaikan, untuk kami sampaikan kepada pimpinan. Sementara kami menerima arsip dulu," katanya.

Koalisi berambisi pemerintah tidak melanggengkan impunitas dengan memutihkan masa lampau nan penuh pelanggaran, serta tidak menjadikan sejarah sebagai perangkat legitimasi politik semata.

(kay/ugo)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya