Kisah Ali Sadikin Naik Haji Dan Bertemu Dua Ulama Besar Indonesia

Sedang Trending 1 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta - Desember 1974 menjadi salah satu titik kembali spiritual dalam kehidupan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin. Bersama sang istri dan seorang pendamping, dia menunaikan rukun Islam kelima: naik haji. Namun, lebih dari sekadar ibadah, perjalanan suci itu menyimpan kisah mendalam tentang pertemuan, perenungan, dan persahabatan nan membekas hingga akhir hayat.

Dikutip dari karya Ramadhan KH, dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966–1977, di masa karantina menjelang keberangkatan, bilik Ali Sadikin berdampingan dengan tokoh besar ustadz Indonesia, Buya Hamka. Dalam keheningan pagi dan sore, Ali kerap mendengar lantunan ayat-ayat suci dari bilik Buya.

Terpukau, dia bertanya kepada Buya, “Bapak ini pagi-pagi baca Qur’an, sore baca Qur’an. Hebat! Mengapa?” 

Buya Hamka hanya tersenyum. Sebuah senyum nan menyimpan kedalaman makna, tanpa banyak kata. “Saya juga tidak tahu apa sebabnya,” katanya sederhana.

Dari situ, Ali merasakan bahwa ibadah bukan sekadar kewajiban, tapi panggilan jiwa nan hanya bisa dijelaskan oleh kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya.

Haji Tujuh Kali

Ali kaget ketika tahu Buya Hamka telah tujuh kali menunaikan haji. “Padahal nan wajib itu hanya satu kali,” ujarnya, kagum. “Mudah-mudahan saya mendapat emosi seperti Buya. Saya bakal coba menghayatinya,” tambahnya. Bukan basa-basi, Ali mengaku betul-betul mau merasakan makna spiritual nan dalam dari ibadah tersebut.

Namun, haji Ali Sadikin saat itu sempat menjadi buah bibir. Isu miring menyebut bahwa perjalanannya ke Tanah Suci adalah “haji politik”. Buya Hamka membela. “Mengenai jiwa manusia hanya Tuhan nan tahu. Tapi jika Ali Sadikin disebut ‘haji politik’, saya rasa tidak,” tegasnya.

Penilaian dari Buya—yang sebelumnya pernah mengkritik kebijakan Ali lewat tulisan soal gambling dan lokalisasi WTS—menjadi pengakuan krusial bahwa hubungan mereka dilandasi rasa saling menghormati dan keterbukaan berpikir.

Masuk Ka'bah dan Menemukan Kehidupan

Ali juga mendapat hidayah langka: kesempatan masuk ke dalam Ka’bah dan salat empat rakaat di dalamnya. Ia tidak bisa mengungkapkan dengan kata-kata kebahagiaan nan dirasakannya. “Luar biasa! Saya sangat berterima kasih mendapatkan kesempatan ini,” tulisnya penuh syukur.

Namun, kebahagiaan pribadinya terusik oleh realita di sekitar. Ia menyaksikan banyak jamaah Indonesia terjebak dalam kondisi mengenaskan—kamar sempit dan pengap, kekurangan air, pelayanan buruk, hingga menjadi korban penipuan. Ia terenyuh, sedih, dan berkeinginan menjadikan temuannya sebagai bahan pertimbangan untuk perbaikan jasa haji di Indonesia.

Pertemuan dengan M Natsir

Tak hanya berbareng Buya Hamka, Ali juga berjumpa Mohammad Natsir di Mekkah—sosok politisi dan ustadz nan pada masa sebelumnya pernah berseberangan dengan Presiden Soekarno. Ini menjadi percakapan pertama nan cukup panjang di antara keduanya.

“Perasaan tidak suka nan pertama kepada Bung Karno, lenyap lenyap dengan pertemuan kami di Mekkah itu,” ungkap Ali.

Baginya, pertemuan itu menghapus prasangka, mempertemukan kembali dua pribadi dalam nuansa keagamaan nan tulus. Ia meyakini, “Orang macam beliau ini adalah pejuang nan patut dihormati—dalam kepercayaan dan juga konsistensi.”

Infografis

Selengkapnya