ARTICLE AD BOX
detikai.com, Jakarta - Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap 9 orang anak di Bekasi nan dilakukan oleh anak berumur 8 tahun menuai sorotan masyarakat.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2017-2022, Retno Listyarti menyatakan miris dengan kasus tersebut.
“Tentu saja kita merasa miris bahwa anak seusia itu nan harusnya belum mengetahui aktivitas seksual tapi rupanya sudah melakukan tindak pidana alias kejahatan seksual terhadap sesama anak,” kata Retno saat dikonfirmasi, Rabu, (11/6/2025).
Retno mengingatkan, kesalahan anak itu tidak pernah berdiri sendiri, melainkan ada aspek lingkungan hingga pengasuhan nan keliru.
“Diduga kuat anak ini mengalami kecanduan pornografi. Karena terlalu sering memandang akhirnya dia mau mempraktikan apa nan dilakukan. Sampai anak terjerumus ini ada aspek lingkungan, pertama pengawasan lemah dari anak, minimnya edukasi mengenai kesehatan reproduksi, pendidikan seks awal minim, orangtua menganggap tabu gak bisa bicara, sehingga anak nyari sendiri di internet. Kesalahan anak tidak berdiri sendiri, itu perlu digaris bawahi,” bebernya.
Meski demikian, Retno menyebut di Indonesia anak-anak nan melakukan kejahatan itu diberlakukan UU 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak (SPPA). Anak nan usianya belum 12 tahun itu tidak bisa diproses pidana.
“Kalau anak seumur ini melakukan pidana maka penyelesaiannya dilakukan secara diversi alias penyelesaian di luar pengadilan. Biasanya ini bakal melibatkan orang tua pelaku, orang tua korban, saksi, kepolisian, dinas perlakuan anak alias dinas sosial. Karena penyelesaian di luar pidana maka tidak ada kurungan, anak-anak nan bisa diproses adalah usia 12 tahun ke atas,” pungkasnya.
Desak Pemerintah Perkuat Perlindungan Anak
Sebelummya, Anggota Komisi VIII DPR, Dini Rahmania, menyatakan keprihatinan mendalam dan mendesak negara untuk memperkuat sistem perlindungan anak secara menyeluruh baik bagi korban maupun pelaku nan tetap di bawah umur.
“Ini bukan hanya persoalan hukum, tapi juga krisis kemanusiaan, krisis perlindungan anak dan kegagalan sistem pengawasan serta pendidikan seks nan layak bagi anak,” kata Dini saat dikonfirmasi, Selasa (10/6/2025).
Dini menyebutkan, memandang dari aspek norma pelaku anak perlu direhabilitasi. Ia menyebut perlakuan terhadap pelaku kudu tunduk pada UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, khususnya Pasal 21 Ayat (1) nan menyatakan bahwa:
"Anak nan belum berumur 12 tahun pada saat melakukan alias diduga melakukan tindak pidana tidak dapat diajukan ke proses peradilan pidana dan hanya dilakukan pembinaan di luar proses peradilan."
Berdasarkan UU tersebut, lanjutnya, pelaku nan tetap di bawah 12 tahun wajib mendapatkan rehabilitasi dan pengarahan dari LPKS (Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial), bukan balasan penjara.
“Namun ini tidak berfaedah negara abai. Sebaliknya, intervensi negara justru kudu lebih serius dalam membentuk perilaku anak,” kata dia.
Korban Jadi Prioritas Utama
Dini Rahmania menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam pemulihan para korban. Korban kudu menjadi prioritas utama dengan mendapatkan perlindungan, pendampingan hukum, serta support psikologis dari lembaga ahli nan berwenang. Para korban kudu segera mendapatkan jasa kesehatan bentuk dan psikis dari lembaga profesional.
Negara melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), Dinsos, serta Kementerian Sosial kudu memastikan jasa konseling, terapi trauma, hingga pendampingan norma dilakukan dengan sensitif dan konsisten.
“Keadilan bagi anak bukan hanya soal menghukum pelaku, tapi memastikan korban betul-betul dipulihkan dan sistem sosial diperbaiki agar tidak ada anak lain nan menjadi korban berikutnya. Anak-anak adalah masa depan bangsa. Jika mereka tak dilindungi hari ini, kita bakal kehilangan generasi esok. Negara kudu hadir, bukan hanya dalam corak hukum, tapi dalam seluruh sistem kehidupan anak,” pungkas Dini.