Izin Usaha Tambang Di Raja Ampat Dicabut, Dpr: Pemerintah Harus Beri Kepastian Hukum Bagi Investor

Sedang Trending 21 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, detikai.com - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan (PDIP), I Wayan Sudirta mengatakan langkah sigap pemerintah mencabut empat izin upaya pertambangan (IUP) di area Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebenarnya merupakan sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi semata.

Meskipun, kata dia, pemerintah sempat memberikan penjelasan kontra-naratif bahwa aktivitas pertambangan nan ada sebenarnya bukan berada di wilayah wisata alias konservasi, seperti Pianemo nan menjadi ikon wisata Raja Ampat alias berada jauh dari letak pertambangan. Namun akhirnya, Presiden Prabowo Subianto mencabut empat IUP dari lima perusahaan di area tersebut.

“Langkah sigap pemerintah mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) di area Raja Ampat, sebenarnya merupakan sinyal positif bahwa negara tidak tunduk pada kepentingan ekonomi semata,” kata Wayan melalui keterangannya pada Minggu, 15 Juni 2025.

Anggota DPR RI Fraksi PDIP, I Wayan Sudirta

Di tengah meningkatnya kesadaran publik terhadap pelestarian lingkungan dan ekologi, Wayan menilai keputusan ini menjadi bukti bahwa Pemerintah bersedia meninjau ulang kebijakan nan berpotensi merusak keanekaragaman hayati. Namun demikian, langkah korektif ini menyimpan sejumlah persoalan serius mengenai tata kelola perizinan, kejelasan langkah hukum, hingga kepastian berinvestasi. 

“Jika tidak dibenahi secara sistemik, keputusan pencabutan izin bisa menciptakan preseden nan kontra-produktif bagi pembangunan jangka panjang dan menurunkan kepercayaan terhadap lembaga negara. Publik juga bertanya-tanya apa nan kemudian menjadi ketegasan sikap negara terhadap persoalan ini,” tegas Wayan.

Menurut dia, keputusan pemerintah mencabut izin ini tidak bisa dilepaskan dari tekanan publik nan luar biasa besar hingga menjadi sorotan nasional dan internasional. Maka dari itu, Wayan mengatakan respon sigap pemerintah patut diapresiasi. Meskipun, pola reaktif semacam ini juga menyiratkan lemahnya sistem pengambilan kebijakan nan berbasis pada kajian ilmiah dan partisipasi publik nan terstruktur. 

“Tidak sedikit keputusan strategis pemerintah baru berubah setelah mendapat tekanan sosial nan masif, baik dalam rumor reklamasi, pembangunan area industri, maupun pembukaan konsesi tambang. Padahal, kebijakan publik harusnya berkarakter deliberatif, partisipatif, dan berdasarkan info transparan. Pemerintah perlu membangun sistem komunikasi kebijakan nan lebih edukatif, sehingga masyarakat dapat memahami latar belakang keputusan, akibat nan dihadapi, serta akibat jangka panjangnya,” katanya.

Di satu sisi, Wayan memandang pencabutan IUP di Raja Ampat mencerminkan keberpihakan negara terhadap pelestarian lingkungan dan kepentingan jangka panjang rakyat. Namun di sisi lain, langkah ini juga memunculkan tantangan norma nan tidak ringan. Beberapa perusahaan telah melakukan investasi awal, menyusun arsip AMDAL, dan mendapatkan pengesahan legal dari otoritas lokal.

Dalam konteks ini, Wayan cemas pencabutan sepihak berpotensi memicu gugatan norma alias apalagi arbitrase internasional jika penanammodal merasa dirugikan. Bagi investor, kepastian norma adalah kunci utama dalam menanamkan modal. Ketika izin nan sah dapat dicabut secara mendadak tanpa sistem penyelesaian sengketa nan setara dan transparan, maka suasana investasi nasional bisa terganggu. Apalagi di sektor strategis seperti tambang nikel, menjadi komoditas kunci dalam transisi daya dunia dan kendaraan listrik.

“Pemerintah perlu menunjukkan bahwa penegakan norma lingkungan dilakukan secara konsisten dan berkeadilan, tidak selektif alias berkarakter politis. Jika pencabutan izin memang kudu dilakukan, maka sistem kompensasi, arbitrase, alias peninjauan administratif kudu ditempuh sesuai prinsip due process of law,” ungkapnya.

Kata dia, pemerintah juga belakangan ini memberi sinyal untuk membentuk lembaga penegakan norma nan baru ialah penegak norma di bagian ESDM/pertambangan, kehutanan, dan lingkungan hidup. Tujuannya, agar lebih efektif dalam mengawasi dan menindak pelanggaran-pelanggaran serupa. Tapi, timbul pertanyaan apakah menjamin persoalan mafia tambang bakal selesai jika membentuk “instansi baru”.

“Kita tentu ingat bahwa persoalan mendasar lain seperti mafia tanah, narkoba, dan mafia norma itu sendiri tetap menyisakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah. Apakah pembentukan baru hanya berkarakter reaktif saja, lantaran efektivitasnya bakal diragukan alias dipertanyakan. Fungsi pengawasan ini selalu ada tapi tidak pernah responsif secara terukur, hanya menunggu rumor viral,” imbuhnya.

Wayan mengatakan Komisi III DPR RI menemukan persoalan penegakan norma nan terjadi di sektor sumber daya alam. Komisi III membentuk panitia kerja (panja) untuk mendukung sistem penegakan norma dalam mengawasi sektor sumber daya alam, termasuk pertambangan. 

Selama ini, lanjut dia, Polri dan Kejaksaan menyatakan tidak ada persoalan mendasar, nan menyebabkan Polri dan Kejaksaan tidak bisa untuk menindak dan mengawasi pelanggaran norma di sektor-sektor tersebut. Nyatanya, tetap banyak persoalan pelanggaran nan tetap terjadi. Masalahnya tentu bukan hanya di penegakan hukum, tapi juga sudah terjadi dari sejak pemberian perizinannya. 

“Persoalan perizinan ini sebenarnya juga menyinggung keahlian penegak norma dalam menelaah potensi adanya tindak pidana korupsi. Kerugian negara sudah jelas terlihat sebagaimana kasus-kasus di sektor pertambangan lainnya. KPK misalnya telah menemukan persoalan di Kementerian ESDM, nan tentu berujung pada publikasi produk hukumnya. Hal ini saja sudah menjadi bukti awal bahwa tindak pidana korupsi dapat terjadi sudah sejak publikasi izinnya,” ungkap Anggota Komisi III DPR RI ini.

Oleh karenanya, Wayan mengatakan momentum paling krusial dari keputusan pemerintah tersebut adalah upaya untuk melakukan reformasi total terhadap sistem perizinan di sektor sumber daya alam. Di antaranya, Pemerintah perlu membangun satu sistem perizinan terintegrasi berbasis spasial dan ekologis, nan dapat digunakan semua kementerian alias lembaga dan Pemerintah Daerah. Sistem ini kudu terbuka untuk publik agar bisa diawasi secara sosial.

Kemudian, DPR berbareng Pemerintah kudu segera mengevaluasi seluruh IUP nan berada di wilayah pulau mini dan area strategis konservasi. Evaluasi ini kudu berbasis pada info ilmiah dan keterlibatan masyarakat sipil. Regulasi sektoral nan saling tumpang tindih juga kudu segera disinkronkan, termasuk antara UU Minerba, UU Lingkungan Hidup, dan UU Pengelolaan Pesisir.

“Pada akhirnya, keputusan mencabut IUP di Raja Ampat adalah langkah nan betul dan penting. Namun, keputusan nan baik tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perbaikan sistemik. Kita tidak hanya memerlukan keberanian politik untuk mencabut izin, tetapi juga visi jangka panjang untuk membangun tata kelola sumber daya alam nan adil, transparan, dan berkelanjutan,” katanya.

Ke depan, Wayan menekankan negara kudu datang bukan sebagai pemadam kebakaran ketika krisis meledak, tetapi sebagai perancang sistem nan mencegah krisis itu terjadi sejak awal. “Hukum kudu dapat mendeteksi, mencegah, dan mengawasi penyalahgunaan alias kebocoran sekaligus menindak tegas seluruh pelanggaran secara konsisten dan efektif (menimbulkan pengaruh jera),” pungkasnya.

Halaman Selanjutnya

“Tidak sedikit keputusan strategis pemerintah baru berubah setelah mendapat tekanan sosial nan masif, baik dalam rumor reklamasi, pembangunan area industri, maupun pembukaan konsesi tambang. Padahal, kebijakan publik harusnya berkarakter deliberatif, partisipatif, dan berdasarkan info transparan. Pemerintah perlu membangun sistem komunikasi kebijakan nan lebih edukatif, sehingga masyarakat dapat memahami latar belakang keputusan, akibat nan dihadapi, serta akibat jangka panjangnya,” katanya.

Halaman Selanjutnya

Selengkapnya