Industri Tekstil Sekarat, Pengusaha Minta Bea Masuk Antidumping 20%

Sedang Trending 1 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) meminta pemerintah menetapkan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) sebesar 20% terhadap produk benang filamen impor, terutama dari China.

Hal ini diharapkan dapat mengatasi akibat serius dari praktik dumping nan telah menggerus industri tekstil Indonesia.

Ketua APSyFI Redma Gita Wirawasta menjelaskan, praktik dumping oleh produsen luar negeri telah menciptakan distorsi nilai di pasar domestik nan sangat merugikan produsen dalam negeri, khususnya di sektor benang filamen dan industri polimer.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, BMAD sebesar 20% merupakan titik keseimbangan nan ideal. Hal tersebut cukup untuk memulihkan industri hulu, namun tetap mempertimbangkan beban nan mungkin ditanggung sektor hilir.

"Harga normal itu ada di kisaran 20 persen di atas nilai dumping. Kalau lebih tinggi dari itu, memang produsen hulu punya ruang untuk margin lebih besar, tapi berisiko membebani industri hilir. Kita perlu titik tengah nan sehat dan berkelanjutan," kata Redma dalam keterangan tertulis Jumat (13/6/2025).

Redma juga menyinggung tentang rekomendasi awal dari Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) menyarankan tarif BMAD nan bervariasi, dengan pemisah atas mencapai 42,3%. Namun APSyFI menilai bahwa sebagian tarif tersebut perlu diturunkan demi menciptakan keseimbangan antara sektor hulu dan hilir.

"Rekomendasi KADI ada nan sampai 42%. Tapi setelah obrolan dan pertimbangan dengan mempertimbangkan akibat ke hilir, kami usulkan tarif itu diturunkan. Rekomendasi APSyFI adalah BMAD rata-rata 20%," ujarnya.

Praktik dumping benang filamen, menurut Redma, tidak hanya merugikan produsen langsung, tetapi juga memicu pengaruh domino terhadap seluruh rantai industri tekstil. Salah satu akibat paling terasa adalah menurunnya permintaan benang pintal, lantaran benang filamen impor mengambil porsi pasar nan sebelumnya dimiliki oleh produk dalam negeri.

"Benang filamen impor ini menyerap pasar benang pintal dalam negeri. Akibatnya, industri pemintalan ikut terpukul, dan lantaran mereka tidak menyerap bahan baku, industri polimer juga ikut kena dampaknya," jelas Redma.

Redma pun mencontohkan, beberapa perusahaan besar seperti Polichem, Polifyn, dan APF telah menutup lini produksi polimer mereka akibat anjloknya permintaan. Saat ini, hanya sekitar empat perusahaan nan tetap memproduksi polimer untuk kebutuhan dalam negeri, dan itu pun dalam kondisi terbatas.

Simak juga Video 'Tanggapan Kemenkop UKM soal Daya Beli Masyarakat ke UMKM Turun':

Bersambung ke laman berikutnya. Langsung klik

APSyFI berharap, penetapan BMAD 20%, industri tekstil dari sektor hulu seperti produksi polimer, benang filamen, dan benang pintal, hingga sektor hilir seperti kain dan produk jadi, bisa kembali bangkit dan bersaing secara sehat di pasar domestik.

Tidak hanya itu, Redma juga menyoroti pentingnya perlindungan pada sektor hulu lainnya, khususnya Purified Terephthalic Acid (PTA) sebagai bahan baku utama serat sintetis. Jika bahan baku tetap dibiarkan bebas masuk dengan nilai dumping, maka seluruh rantai industri tetap terancam.

"PTA juga kudu diberi proteksi. Kalau hulunya lepas, ya tetap saja kita nggak bisa bersaing. Minimal, bea masuk tetap alias BMAD juga diberlakukan untuk PTA," imbuhnya.

Pandangan senada juga disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia menilai, penetapan tarif BMAD minimal 20% adalah langkah logis dan relevan dengan kondisi industri nan tengah mengalami kerusakan struktural akibat praktik dumping.

"Angka 20% itu secara kasar tetap masuk akal, dan itu pun pemisah minimal. Bahkan bisa saja lebih tinggi, tergantung pada tingkat injury nan dialami industri kita," ujar Faisal.

Menurutnya, sejumlah produk tekstil, nilai peralatan impor, terutama dari China, bisa kurang dari separuh nilai produksi dalam negeri. Dalam kondisi ini, BMAD 20% tetap belum cukup menutup disparitas tersebut.

"Kalau nilai impor dari China bisa setengahnya nilai lokal, maka dengan BMAD 20% pun, produk dalam negeri tetap bakal terlihat lebih mahal. Ini nan perlu dihitung serius oleh pemerintah," kata dia.

Simak juga Video 'Tanggapan Kemenkop UKM soal Daya Beli Masyarakat ke UMKM Turun':

Selengkapnya