ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai beragam tanggapan dari publik. Sebagian mengkhawatirkan kembalinya Dwi Fungsi ABRI, sementara lainnya menilai revisi ini justru memperkuat profesionalisme TNI dalam mendukung tata kelola negara.
Aktivis 98, Haris Rusly Moti, memberikan pandangan kritis bahwa revisi ini tidak bertentangan dengan semangat reformasi, melainkan bermaksud untuk memperjelas penugasan TNI di kedudukan operasional kementerian dan lembaga negara.
"Revisi UU TNI tidak menyalahi semangat reformasi lantaran hanya mengatur penugasan TNI di wilayah kedudukan operasional ahli Kementerian/Lembaga," ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (17/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Haris, supremasi sipil tetap terjaga dalam proses revisi UU TNI. DPR sebagai lembaga legislatif nan mewakili rakyat adalah pihak nan berkuasa menyusun dan mengesahkan revisi ini.
"DPR merupakan representasi kehendak sipil. Anggota DPR nya berasal dari banyak Parpol dan Parpol adalah organisasi politik sipil," ujarnya.
Dia menilai TNI sendiri tidak mempunyai kewenangan untuk membikin patokan nan mengatur dirinya, melainkan hanya memberikan masukan. Hal ini berbeda dengan era Orde Baru, di mana militer mempunyai peran sosial politik dan secara langsung terlibat dalam pembuatan keputusan politik negara.
"TNI hanya dimintai masukan sebagai bahan pertimbangan mengenai revisi UU nan mengatur dirinya. TNI hanya menjadi pelaksana dari UU nan dibuat dan diputuskan oleh lembaga tinggi negara, DPR.
Di era reformasi ini, lanjutnya, TNI terbukti tunduk pada keputusan lembaga negara nan dikendalikan oleh sipil. Dengan demikian, tuduhan bahwa revisi UU TNI bakal mengembalikan supremasi militer dianggap tidak berdasar.
"Jika kita perhatikan, berbeda dengan era Orde Baru, melalui peran Sosial Politik (Sospol) ABRI, ada kedudukan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI.
Haris menerangkan, pada masa Orde Baru, ABRI mempunyai peran dobel sebagai perangkat pertahanan sekaligus kekuatan sosial politik nan aktif dalam pemerintahan. Ada kedudukan Kasospol ABRI dan Fraksi ABRI di MPR-RI nan memungkinkan militer berkedudukan sebagai pengambil keputusan politik negara.
"Begitulah era supremasi militer, di mana kekuatan sipil tunduk diatur secara sosial dan politik oleh militer. Sementara saat ini ada Pilkada, Pilpres dan Pileg langsung, di mana lembaga sipil seperti Parpol nan memainkan peran sentral.
Atas dasar itu, Haris menilai salah kaprah, jika revisi UU TNI dikaitkan dengan Dwi Fungsi ABRI Rebound. Menurutnya revisi UU TNI sama sekali tidak bertentangan dengan semangat reformasi, tidak mengembalikan peran Sospol TNI.
"Menurut saya mereka nan mengobarkan ketakutan dan trauma mengenai ancaman militerisme alias Dwi Fungsi Rebound tidak mempunyai dasar teori nan kuat," tuturnya.
Untuk itu Haris membujuk smeua pihak untuk tetap mendukung Revisi UU TNI. Karena Revisi UU TNI bukan ancaman bagi supremasi sipil maupun demokrasi.
"Revisi UU TNI nan menempatkan perwira TNI di kedudukan ahli dan operasional kementerian dan lembaga tidak menakut-nakuti supremasi sipil dan tidak bertentangan demokrasi. Go ahed, lanjut terus, kita dukung," ucapnya.
(ory/ory)