Hadapi Tantangan Ekonomi Global, Lestari Moerdijat: Butuh Kehati-hatian Dan Langkah Strategis

Sedang Trending 1 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

detikai.com, Jakarta Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan perlu kehati-hatian dalam menentukan langkah nan tepat untuk menghadapi tantangan akibat gejolak ekonomi global. 

"Tantangan akibat ekonomi dunia saat ini bukan merupakan perihal nan mudah. Butuh kehati-hatian dalam menyikapi dinamika ekonomi nan terjadi, agar upaya memajukan kesejahteraan umum nan diamanatkan konstitusi bisa tetap direalisasikan," kata Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulis pada obrolan daring bertema BRICS dan Tarif Trump: Tantangan Baru Bagi Ekonomi Indonesia nan digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (16/7/2025). 

Menurut Lestari, bergabungnya Indonesia dengan organisasi negara-negara BRICS (Brasil, Rusia, India, China, Afrika Selatan) pada tahun lalu, merupakan langkah strategis nan kudu bisa membuka sejumlah kesempatan nan bisa mendatangkan faedah bagi pertumbuhan ekonomi nasional. 

Rerie, sapaan berkawan Lestari, berpendapat, krusial untuk mewujudkan persatuan setiap anak bangsa dalam menyikapi tantangan akibat dinamika ekonomi dunia nan terjadi saat ini. 

Anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah menekankan bahwa beragam potensi ekonomi lokal juga kudu dimanfaatkan sebagai bagian dari solusi menghadapi tantangan. Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap, akibat gejolak ekonomi dunia dapat dihadapi dan dijawab dengan kekuatan berbareng setiap anak bangsa dalam membangun ekosistem upaya nan lebih baik. 

Diskusi daring bertema BRICS dan Tarif Trump: Tantangan Baru Bagi Ekonomi Indonesia menghadirkan Analis Perdagangan Ahli Madya pada Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI - Freddy Josep Pelawi SH, LLM; uru Besar Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia/FEB UI, Tenaga Profesional Lemhannas RI Bidang Ekonomi - Prof Dr. Telisa Aulia Falianty S.E M.E ; Peneliti Departemen Ekonomi CSIS/Centre for Strategic and International Studies - G; Riandy Laksono, dan Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia/HIMKI Kabupaten Jepara, Hidayat Hendra Sasmita, 

Diskusi nan dimoderatori Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR, Dr. Radityo Fajar Arianto, MBA ini, turut menghadirkan Dosen Psikologi Universitas Pancasila – Wakil Sekretaris Dewan Pakar Partai Nasdem Dr. Silverius Y. Soeharso. S.E., M.M. sebagai penanggap. 

Lindungi Pasar Domestik dan Perluas Ekspor

Analis Perdagangan Ahli Madya, Direktorat Pengamanan Perdagangan, Kementerian Perdagangan RI, Freddy Josep Pelawi mengungkapkan, bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS diharapkan bisa mengatasi sejumlah halangan perdagangan dengan sejumlah negara personil BRICS. 

Menurut Josep, saat ini Indonesia tetap menghadapi hambatan perdagangan dengan Brasil dalam corak pemberlakuan anti-dumping pada produk baja, dan produk Indonesia dikenakan bea masuk imbalan. Sementara itu, produk-produk Indonesia tetap menghadapi masalah standar kualitas produk untuk masuk ke pasar Rusia. 

Josep mengatakan berasas sejumlah hukuman perdagangan nan dijatuhkan terhadap Iran oleh sejumlah negara, potensi peningkatan perdagangan Indonesia dengan Iran sangat terbuka. Josep berpendapat, Indonesia mempunyai kebebasan untuk menentukan sikap dan kebijakan untuk melakukan perdagangan terhadap sejumlah negara. 

"Program prioritas pemerintah saat ini melindungi pasar domestik dan berupaya memperluas ekspor ke wilayah nan baru, untuk meningkatkan volume perdagangan," jelas Josep.

Ragam Pendapat Para Pakar Sikapi BRICS dan Tarif Trump

Guru Besar FEB Universitas Indonesia, Telisa Aulia Falianty berpendapat, keanggotaan Indonesia di BRICS bisa meningkatkan nilai tawar terhadap hegemoni negara-negara G7. 

"Presiden Trump tidak suka dengan personil BRICS lantaran bakal mengganggu hegemoni AS terhadap sejumlah negara," ujar Telisa. 

Menurut Telisa, Indonesia tidak bisa beranjak sepenuhnya dari Amerika Serikat, lantaran tetap tergantung dengan dolar AS. Dalam bernegosiasi, sejatinya tidak hanya digali dari sisi perdagangan. Menurut dia, kudu dipertimbangkan juga sektor investasi, tenaga kerja, dan arus uang, secara menyeluruh. 

Telisa menyayangkan, negosiasi Indonesia dengan AS hanya mempertimbangkan sisi perdagangan saja. Padahal AS saat ini untung besar di sektor teknologi dan jasa dalam melakukan perdagangan dengan Indonesia. 

Lebih lanjut, Telisa mengungkapkan bahwa pemberian 0 tarif untuk sejumlah produk AS oleh Indonesia, berpotensi diminta juga oleh negara lain. Sehingga, akibat tidak langsung kesepakatan tarif Indonesia-AS kudu segera diantisipasi. 

"Jangan panik dalam bernegosiasi, jangan sampai hasilnya malah mengorbankan kedaulatan bangsa," ujarnya. 

Indonesia Perlu Ekstensifikasi Investasi

Peneliti Departemen Ekonomi CSIS, Riandy Laksono berpendapat, perang tarif AS-China berevolusi dari sekadar perang tarif menjadi upaya untuk menata ulang rantai pasok dunia. Karena yang bakal dipermasalahkan dalam perang tarif AS ini bukan hanya soal made in China, tetapi juga made by China. 

Menurut Riandy, Indonesia perlu melakukan ekstensifikasi investasi, lantaran AS bakal mempersoalkan asal dari bahan baku sebuah produk. Sebab, tujuan perang jual beli AS sejatinya adalah untuk menghalang sektor manufaktur China, sebagai antisipasi terjadinya perang terbuka di masa depan. Amerika, jelas dia, mau mengurangi pengaruh China di sejumlah kawasan. 

"Pada perang tarif AS-China, rumor transhipment menjadi rumor penting. Dalam skema perdagangan AS-Vietnam,  misalnya, tarif nan dikenakan AS terhadap produk Vietnam adalah 20%," jelas Riandy.

Dirinya menambahkan, bila kedapatan produk itu hasil transhipment, produk Vietnam bakal dikenakan tarif 40%. Menurut Riandy, skema perdagangan AS-Vietnam juga bakal diterapkan pada skema perdagangan AS-Indonesia. 

Riandy mengingatkan, agar dalam negosiasi perdagangan AS-Indonesia kudu diperjelas arti dari transhipment. 

"Karena banyak produk-produk Indonesia menggunakan bahan baku dari luar negeri nan lebih kompetitif," jelasnya.

Pelaku Industri Optimis Bisa Beradaptasi

Ketua HIMKI Kabupaten Jepara, Hidayat Hendra Sasmita mengungkapkan, pada triwulan pertama 2025 industri furniture di Jepara mengalami pertumbuhan 9,9% dari tahun lalu. 

Hidayat mengaku optimistis terhadap kondisi saat ini, setelah tahun lampau menghadapi akibat perang Rusia-Ukraina nan mengakibatkan pasar furnitur turun 30%-40%.

Menurut Hidayat, industri furnitur bisa beradaptasi terhadap akibat perang Rusia-Ukraina. Ketidakpastian dalam penetapan tarif oleh AS beberapa waktu lalu, tambah dia, sempat menekan volume ekspor furniture ke AS hingga 50%.

Fokus Memanfaatkan Peluang BRICS

Dosen Psikologi Universitas Pancasila, Silverius Y. Soeharso berpendapat, perang jual beli nan dipicu penetapan tarif oleh AS terhadap sejumlah negara, bukan sekadar perang dagang, tetapi juga perang psikologis. 

"Ini adalah perang psikologis nan sedang dimainkan oleh Trump. Jadi jika kita panik menghadapi ini, kita bakal kedodoran," ujar Soeharso. 

Kondisi saat ini, menurut Soeharso, adalah peluang. Selain BRICS, Australia mempunyai potensi ekonomi nan cukup besar sebagai salah satu negara tujuan ekspor. Soeharso mendorong agar potensi sumber daya manusia (SDM) nan kita miliki kudu didorong bisa mengisi kebutuhan tenaga kerja di sejumlah negara. 

"China dan India punya kebijakan untuk menempatkan warganya ke industri-industri di beragam negara dunia," ujarnya. 

Wartawan senior, Saur Hutabarat, mengungkapkan, peluang-peluang di BRICS diperkirakan baru bakal terbuka pada 2045, ketika GDP negara-negara personil BRICS melampaui negara-negara G7. Saat ini, Indonesia mulai merintis jalan untuk menjemput sejumlah kesempatan itu, berbarengan dengan pencapaian Indonesia Emas pada 2045.

Menurut Saur, masa pemerintahan Donald Trump tinggal 3,5 tahun lagi dan AS berkesempatan besar dipimpin oleh presiden nan baru dan kemungkinan besar tidak melanjutkan kebijakan Trump. Membuang daya nan berlebihan dan terlalu reaktif menyikapi kebijakan Trump saat ini tidak terlalu bijaksana. 

Saur berpendapat, Indonesia kudu memandang ke dalam untuk segera menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah untuk membangun ekosistem upaya dan investasi nan baik. 

"Bila kepastian norma tetap seperti saat ini, saya cemas tidak ada penanammodal nan datang dan pengusaha tidak bakal membangun upaya di sini," ujarnya.

(*)

Selengkapnya