ARTICLE AD BOX
Kepala PVMBG Hadi Wijaya saat dihubungi detikai.com, Jumat (21/3/2025) mengatakan, pihaknya telah melakukan langkah-langkah mitigasi sesuai prosedur. Langkah-langkah mitigasi nan sudah dilakukan antara lain, pemantauan intensif, ialah dengan terus melakukan pemantauan visual dan instrumental secara real-time untuk mendeteksi perkembangan aktivitas vulkanik.
"Langkah kedua, peningkatan status dan rekomendasi. Kami telah menetapkan area ancaman dan mengimbau masyarakat nan bermukim di dalam radius tersebut untuk mengungsi sementara," katanya.
Langkah mitigasi lainnya adalah dengan berkoordinasi dengan BPBD dan Pemda. "Kami aktif berkoordinasi dengan pihak wilayah untuk evakuasi, penyediaan pos pengungsian, serta logistik,: kata Hadi.
Pihaknya juga tak capek memberikan edukasi dan sosialisasi. Tim PVMBG, kata Hadi, berbareng lembaga mengenai juga terus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai potensi ancaman dan pentingnya mengikuti pengarahan resmi.
"Memang tetap ada sebagian penduduk nan enggan mengungsi lantaran argumen ekonomi, ternak, alias keterikatan pada lahan. Namun, pendekatan persuasif terus dilakukan oleh abdi negara desa, BPBD, dan relawan, dengan support data-data ilmiah dari kami," ungkap Hadi.
Terkait jalur mitigasi erupsi Gunung Lewotobi, pihak PVMBG juga telah lama menyiapka jalur pemindahan berasas peta Kawasan Rawan Bencana (KRB). Jalur ini disesuaikan dengan kondisi medan dan arah potensi ancaman letusan, seperti aliran lava, awan panas, alias guguran material.
Jika sewaktu-waktu Gunung Lewotobi erupsi besar, langkah-langkah mitigasi nan diambil untuk mengurangi akibat jatuhnya banyak korban jiwa, pihak PVMBG melakukan beberapa cara, antara lain langsung memberikan pesan radio HT ke relawan dan abdi negara desa nan sudah dilatih.
"Cara lainnya adalah dengan share grup WA alias SMS broadcast untuk menyampaikan info secara cepat," katanya.
Pihaknhya juga tak putus terus berkoordinasi dengan BPBD dan pemerintah wilayah untuk penyebaran info melalui mobil keliling alias masjid.
"Kami juga rutin lakukan sosialisasi dan simulasi agar penduduk tahu apa nan kudu dilakukan saat erupsi terjadi," katanya.
Sementara Pakar Mitigasi Bencana dari UPN Veteran Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno, menekankan bahwa penanggulangan musibah di area ini kudu dilakukan secara menyeluruh dan berbasis info terbaru.
Menurut Eko, erupsi pertama Gunung Lewotobi Laki-laki tercatat pada 4 November 2004, dengan letusan besar mencapai radius 9 kilometer dan maksimal 10 kilometer pada 9 November.
"Namun, sebenarnya aktivitas vulkanik sudah terjadi lebih awal dalam skala kecil," ujar Eko kepada detikai.com.
Erupsi terbaru menunjukkan perubahan pola dengan lontaran material hingga 4,5 kilometer nan berakibat pada peningkatan jumlah korban dan kerugian aset.
Eko menyoroti bahwa dalam erupsi ini, 9 orang meninggal dan sekitar 13.000 penduduk mengungsi, baik ke pos pengungsian maupun secara mandiri. "Ada pergeseran arah erupsi nan menyebabkan beberapa wilayah nan sebelumnya kondusif sekarang terkena akibat langsung," jelasnya.
Salah satu langkah krusial dalam mitigasi bencana, menurut Eko, adalah memperbarui Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB).
"Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) saat ini sedang menyiapkan pembaruan peta KRB nan menjadi referensi utama bagi penduduk dalam menentukan apakah mereka bisa kembali ke rumah alias kudu direlokasi," katanya.
Ia juga menekankan perlunya kajian lebih lanjut mengenai akibat jatuhan material vulkanik. "Wilayah seperti Hokeng, nan sebelumnya relatif aman, sekarang mengalami kerusakan akibat pasir, kerikil, dan batuan besar nan terlontar hingga radius 5 kilometer," tambahnya.
Dalam menghadapi ancaman bencana, Eko menyarankan agar keputusan relokasi penduduk didasarkan pada kajian nan matang. "Tidak semua penduduk kudu pindah. Perlu dipetakan wilayah mana nan tetap bisa dihuni dengan penyesuaian konstruksi, dan mana nan memang kudu ditinggalkan demi keselamatan," ungkapnya.
Selain itu, dia menyoroti pentingnya sistem pemindahan nan jelas bagi warga. "Pemerintah kudu memastikan ada rencana pemindahan nan efektif, termasuk jalur pemindahan nan kondusif serta tempat perlindungan sementara nan memadai," kata Eko.
Eko juga menegaskan bahwa mitigasi musibah tidak hanya berakhir pada tahap darurat, tetapi juga kudu menjadi bagian dari perencanaan tata ruang jangka panjang. "Hunian tetap bagi penduduk terdampak kudu mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Tidak hanya sekadar aman, tetapi juga memungkinkan penduduk untuk tetap menjalankan kehidupan sehari-hari dengan layak," ujarnya.
Sebagai solusi, dia merekomendasikan konsep dua tempat tinggal bagi penduduk di area rawan bencana. "Ketika status gunung normal alias waspada, mereka bisa tinggal di letak nan dekat dengan sumber mata pencaharian mereka. Namun, saat siaga alias awas, mereka kudu mempunyai tempat tinggal kondusif untuk mengungsi dalam jangka panjang," jelasnya.