Gara-gara Mahar, Warga Di Kota Ri Ini Banyak Kumpul Kebo

Sedang Trending 19 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
Daftar Isi

Jakarta, detikai.com - Fenomena "kumpul kebo" alias kohabitasi semakin marak di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Manado, Sulawesi Utara.

Biaya mahar nan tinggi menjadi salah satu pemicu utama pasangan memilih hidup berbareng tanpa menikah. 

Di Indonesia, studi tahun 2021 nan berjudul "The Untold Story of Cohabitation", mengungkap, kohabitasi lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur, nan kebanyakan penduduknya non-Muslim.

Kohabitasi adalah praktik tinggal berbareng tanpa ikatan pernikahan sah. Hasil pendataan Keluarga 2021 (PK21) menunjukkan, 0,6% penduduk Manado hidup dalam hubungan kohabitasi, dan 1,9% di antaranya apalagi tengah mengandung saat survei dilakukan.

Sementara 24,3% berumur kurang dari 30 tahun, 83,7% berilmu SMA alias lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.

Alasan Utama Memilih Kohabitasi

Penelitian Yulinda Nurul Aini dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam tulisannya dimuat The Conversation menyoroti tiga argumen utama kenapa pasangan memilih kohabitasi:

1. Beban Finansial

Banyak pasangan belum bisa menanggung biaya mahar nan nilainya bisa mencapai puluhan juta rupiah. Salah satu responden apalagi kudu menunggu empat tahun untuk bisa mengumpulkan mahar sebesar Rp50 juta demi menikahi pasangannya.

2. Rumitnya Perceraian

Proses pisah dinilai mahal dan kompleks, mulai dari biaya pengacara hingga pembagian harta. Selain itu, aliran kepercayaan di Manado seperti Kristen dan Katolik menganggap perceraian sebagai perihal nan tabu.

3. Penerimaan Sosial

Lingkungan sosial di Manado condong lebih menerima praktik kohabitasi. Budaya lokal menilai relasi individual lebih krusial daripada formalitas pernikahan, selama pasangan mempunyai komitmen jangka panjang.

Perempuan dan Anak Paling Rawan

Sayangnya, kohabitasi mempunyai akibat serius, terutama bagi wanita dan anak. Tidak adanya payung norma membikin mereka tidak mendapat perlindungan finansial, kewenangan waris, maupun kepastian norma jika hubungan kandas. Data PK21 menunjukkan 69,1% pasangan kohabitasi mengalami konflik, dengan sebagian apalagi mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

Anak-anak dari hubungan ini juga rentan terhadap stigma sosial, gangguan emosi, dan identitas, nan bisa berakibat panjang pada perkembangan mereka.

Kohabitasi sendiri telah diakui secara norma di negara-negara maju seperti Belanda dan Kanada.

Sementara, di Asia, kohabitasi tidak mendapatkan pengakuan legal lantaran pengaruh budaya, tradisi, dan agama.

Kohabitasi condong terjadi dalam periode singkat dan sering dianggap sebagai tahap awal menuju pernikahan lantaran tradisi family nan mengharuskan pasangan menikah.

Di Jepang, contohnya, info dari National Fertility Survey menunjukkan bahwa sekitar 25% pasangan melakukan kohabitasi dengan rata-rata lama sekitar 2 tahun, dan sekitar 58% dari total pasangan kohabitasi melanjutkan ke jenjang pernikahan.

Data tersebut juga mengungkap kelahiran anak di luar pernikahan hanya sekitar 2% alias terendah di antara negara-negara personil Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) nan rata-ratanya sebesar 36,3%.


(dce)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ahli Sebut Rahasia Pernikahan Langgeng Bukan "I Love You" Tapi Ini

Selengkapnya