ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Mantan Ketua Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998, Marzuki Darusman menyebut pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon nan menyebut tak ada pemerkosaan massal dalam peristiwa 1998 itu menyesatkan. TGPF kemudian menyinggung laporan nan sudah diakui Presiden ke-3 RI BJ Habibie.
"Saya kira pernyataan itu membingungkan dan menyesatkan, janggal dan juga tidak setara lah bagi para korban," kata Marzuki saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (16/6).
Marzuki juga menyebut laporan TGPF itu sudah diakui B.J Habibie dan Komnas HAM. Artinya, kata dia, pemerkosaan massal dalam peristiwa 1998 betul terjadi. Marzuki turut meminta Fadli untuk menanyakan bukti mengenai pemerkosaan massal itu ke pemerintah. Sebab, laporan TGPF telah diserahkan ke pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mau cari bukti ya carilah di pemerintah sendiri, lantaran sebuah bahan itu ada di pemerintah," ucap dia.
Lebih lanjut, Marzuki meminta Fadli untuk segera menjelaskan atas pernyataan nan membantah soal pemerkosaan massal tersebut.
"Saya kira perlu klarifikasi, ini pernyataan Fadli Zon ini sebagai pribadi alias sebagai menteri, jika mau disebut rumor, apakah pemerintah seluruhnya menganggap rumor alias gimana, ini perlu penjelasan kan, tentu dia menyatakannya sebagai menteri, tapi apakah pemerintah seluruhnya alias hanya dia," tutur Marzuki.
Eks Menkumhkam respons Fadli Zon
Eks Menkumham sekaligus personil Komisi XIII DPR, Yasonna Laoly juga ikut menyinggung pidato kenegaraan Habibie dalam Sidang Paripurna MPR 16 Agustus 1998.
"Apakah Habibie sebagai Presiden bohong? Perlu hati-hati jika mau menulis ulang sejarah," kata Yasonna saat dihubungi, Senin.
Menurut Yasonna, para korban tetap mengingat betul peristiwa itu. Dia lantaran itu mengingatkan agar sejarah kudu ditulis secara terbuka dan memandang kebenaran sesungguhnya.
"Orang-orang nan tetap hidup di era kerusuhan massal tersebut tentu tetap ingat bakal apa nan terjadi. Penulisan sejarah kudu terbuka seluas-luasnya untuk memandang fakta-fakta sejarah nan sesungguhnya," kata Yasonna.
Dalam pidato itu, Habibie mengungkap keprihatinan atas tragedi kekerasan terhadap perempuan, khususnya perkosaan massal nan terjadi dalam kerusuhan Mei 1998. Ia mengutuk keras tindakan itu dan berjanji bakal mengusut tuntas serta menindak pelaku secara hukum.
Meski hingga saat ini, proses norma itu tak pernah berlangsung.
"Huru-hara berupa penjarahan dan pembakaran pusat-pusat pertokoan dan rumah masyarakat tersebut apalagi disertai tindak kekerasan dan perundungan seksual terhadap kaum wanita terutama dari golongan etnis Tionghoa," ujar Habibie.
"Seluruh rangkaian tindakan tidak bertanggung jawab tersebut sangat memalukan dan telah mendorong muka kita semua sebagai bangsa nan beradab dan bermuka tinggi, sebagai bangsa nan berbudaya dan berakidah kita mengutuk perbuatan bandel tersebut," imbuhnya.
Belakangan, Fadli membantah telah menyangkal corak kekerasan seksual. Dia mengaku hanya menekankan sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta norma dan bukti nan telah diuji secara akademik dan legal.
Menurut dia, tragedi pemerkosaan massal selama kerusuhan 13-14 Mei menjelang kejatuhan Orde Baru pada 1998, tidak punya info pendukung nan solid.
Fadli berkata, laporan tim campuran pencari kebenaran (TGPF) tak mempunyai info nan solid. Fadli mengatakan, hasil laporan itu hanya menyebut angka, namun tanpa nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian.
"Laporan TGPF ketika itu hanya menyebut nomor tanpa info pendukung nan solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian alias pelaku," kata Fadli lewat keterangan tertulis, kemarin.
(thr/dal)
[Gambas:Video CNN]