ARTICLE AD BOX
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah bumi kembali terkoreksi tipis pada perdagangan Rabu pagi (16/7/2025), meski sempat berfluktuasi akibat tensi geopolitik.
Melansir Refinitiv, hingga pukul 9.45 WIB minyak Brent perjanjian September 2025 dibuka di US$ 68,98 per barel, bergerak di kisaran US$ 69,09 sebagai level tertinggi dan US$ 68,87 terendah, dan terakhir berada di US$ 68,94 per barel pada pukul 09.45 WIB.
Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Agustus 2025 tercatat di US$ 66,87 per barel.
Pergerakan ini melanjutkan tren koreksi nan terjadi sejak awal pekan. Pada Selasa (15/7), Brent ditutup melemah 0,7% ke US$ 68,71, sedangkan WTI turun 0,7% ke US$ 66,52. Padahal sehari sebelumnya, Brent sempat memperkuat di kisaran US$ 69,21 per barel.
Pasar minyak sempat naik lantaran kekhawatiran hukuman AS ke Rusia, namun kemudian melemah setelah Trump memberikan tenggat tambahan 50 hari. Langkah ini menenangkan pasar nan sebelumnya cemas bakal gangguan pasokan langsung.
"Fokus tetap pada Donald Trump. Kekhawatiran hukuman tambahan mereda setelah tenggat waktu diperpanjang, dan itu menenangkan pasar," jelas Giovanni Staunovo, analis komoditas UBS.
Selain rumor geopolitik, perlambatan ekonomi China juga menekan sentimen. Data kuartal II menunjukkan pertumbuhan melambat lantaran ekspor kehilangan momentum, nilai turun, dan kepercayaan konsumen rendah. Meski demikian, analis IG, Tony Sycamore, menilai pertumbuhan tetap di atas konsensus berkah support fiskal dan peningkatan produksi untuk mengantisipasi tarif AS.
Trump juga mengumumkan rencana tarif 30% untuk sebagian besar impor dari Uni Eropa dan Meksiko mulai 1 Agustus, serta hukuman tarif 50% untuk Brasil. Kebijakan ini meningkatkan
Dari sisi fundamental, stok minyak mentah AS naik 839.000 barel pekan lalu, menurut info American Petroleum Institute (API). Data resmi pemerintah AS bakal dirilis Rabu malam waktu setempat.
Namun, permintaan minyak dunia diperkirakan tetap kuat hingga kuartal ketiga, menurut Sekjen OPEC. Hal ini menjaga keseimbangan pasar dalam jangka pendek, meski tekanan dari tarif jual beli dan geopolitik terus menghantui.
CNBC Indonesia
(emb/emb)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Laba Saudi Aramco Anjlok, 'Hanya' Raup Rp1,75 Kuadriliun di 2024