ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terus tertekan sepanjang perdagangan hari ini, Senin (3/2/205). Pemerintah dan otoritas moneter kudu segera mengambil langkah menjaga stabilitas nilai tukar rupiah lantaran tekanan dolar AS bakal berjalan dalam jangka waktu panjang.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah terpuruk 1,04% sekitar pukul 10:28 WIB di nomor Rp16.465/US$ pada hari ini, Senin (03/02/2025). Depresiasi ini selaras dengan penutupan Jumat pekan lampau (31/01/2025) nan tergelincir sebesar 0,25%.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, tekanan kurs ini berpotensi jangka panjang lantaran dipicu sentimen negatif pelaku pasar finansial terhadap tak kondusifnya suasana perdagangan global. Disebabkan Presiden AS Donald Trump nan memberlakuan tarif perdagangan sebesar 25% terhadap Kanada dan Meksiko, selain migas Kanada 10%, serta 10% tambahan terhadap China.
"Kelihatannya ini bakal jangka panjang lantaran Kanada dan Meksiko juga berencana mengeluarkan tarif jawaban sebesar 25%. Bisa ada eskalasi saling balas ke depan nya," kata David kepada detikai.com, Senin (3/2/2025).
Menurut David, pengaruh dari persoalan itu bakal membikin inflasi individual consumption expenditure (PCE) AS bakal terus terkerek naik, membikin kebijakan moneter AS berpotensi semakin ketat dan membikin tekanan terhadap tren kebijakan suku kembang referensi ke depan.
"Inflasi PCE AS juga sudah meningkat ke 2.6% YoY (0.3% MoM) pada Desember, lebih tinggi dibandingkan 2.4% YoY (0.1% MoM) pada November," tegasnya.
Untuk menghadapi beragam masalah itu, David mengatakan, pemerintah dan otoritas moneter alias Bank Indonesia kudu segera mengambil langkah-langkah strategis untuk mengamankan stabilitas pasar finansial dan ekonomi domestik.
"Dorong percepatan investasi langsung dan diversifikasi tujuan ekspor. Mungkin efektifitas kebijakan seperti devisa hasil ekspor (DHE) ditingkatkan termasuk diversifikasi sumber likuiditas, misal publikasi dim sum bonds dan lainnya," kata David.
Pernyataan serupa disampaikan juga oleh Global Markets Economist Maybank Indonesia Myrdal Gunarto. Ia bilang, pengaruh terbesar pelemahan kurs berpotensi terjadi hingga Semester II-2025, membikin pemerintah dan BI kudu segera mengamankan stabilitas sistem finansial di dalam negeri lantaran tren suku kembang referensi tinggi The Federal Reserve tetap bakal terjadi sampai Juni 2025.
"Saya lihat pengaruh terbesar terjadi sampai first half 2025. Makanya kemungkinan tercepat the Fed turunkan kembang pada Juni 2025," paparnya.
Menurut Myrdal pemerintah maupun otoritas moneter perlu melakukan penguatan dari sisi esensial domestik. Khusus untuk pemerintah, menurutnya kudu mengambil kebijakan pengamanan stok pangan dan daya untuk kebutuhan domestik di saat kondisi tingginya tekanan kurs, agar harga-harga di dalam negeri terkendali sesuai sasaran inflasi 2,5% plus minus 1%.
"Langkah itu bisa dilakukan oleh pemerintah dengan langkah jalin hubungan baik dengan negara penyedia supply pangan dan energi. Untuk daya tidak ada masalah tahun ini lantaran nilai minyak sedang rendah," tuturnya.
"Tapi stok pangan nan kudu diperhatikan. Kalau untuk impor dari AS bakal bermasalah seperti gandum, biji-bijian sulit, kita bisa manfaatkan keanggotaan kita di BRICS, entah bisa jalin kerja sama dengan Brazil alias Rusia untuk stok pangan termasuk China, dan India untuk impor beras," papar Myrdal.
Untuk menjaga stok dolar AS, pemerintah sebetulnya sudah mengantisipasi dengan kebijakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 nan semakin memperpanjang tanggungjawab penempatan dolar hasil ekspor dari sebelumnya hanya 30% selama 3 bulan menjadi 100% selama satu 1 tahun.
"Ini sebenarnya bisa jadi langkah antisipatif, dan jika saya lihat pemerintah bisa ambil kesempatan dari kondisi perang jual beli AS-China, dengan melobi ke China alias ambil momentum lobi FDI untuk aktivitas produksi dari China sebelum kirim ke tujuan ekspor tradisional China. Jadi selain berbasis logam seperti smelter kita bisa lobi entah barang-barang kategori high tech alias barang-barang olahan mereka ke RI.
Untuk Bank Indonesia, dia menganggap perlu memanfaatkan amunisi intervensi moneternya. Sebab, persediaan devisa saat ini tengah berlimpah, posisi eksternal parameter utang sehat, posisi DSR tier 1 tetap rendah, dan posisi Utang Luar Negeri terakhir tetap di 31%.
"Ya harusnya BI bisa intervensi dengan amunisi moneter mereka. Kalau enggak mau ya bisa intervensi terbatas sembari memandang posisi alami dolar ke rupiah, jangan sampai seperti menggarami lautan ya sia-sia," tegasnya.
Myrdal juga mengingatkan, tekanan rupiah saat ini jangan sampai membikin BI kembali takut untuk menurunkan suku kembang referensi BI Rate, karena dia menganggap aktivitas ekonomi di dalam negeri tetap lesu.
"Dan inflasi pun memang jikalau naik lantaran ada aspek musiman sampai bulan depan paling hanya 2,2%, jadi ada ruang bagi BI turunkan kembang lagi agar ekonomi kuat, biaya utang jadi murah, biaya angsuran murah, UMKM pelaku upaya menengah perseorangan happy, ini bisa cegah aktivitas crowding out," paparnya.
"Walaupun sekarang rupiah melemah BI perkuat dengan turunin suku bunga, jangan takut dengan pelemahan rupiah lantaran eksposur asing ke finansial kita sudah terbatas," ucap Myrdal.
(arj/mij)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Netizen Heboh, Rupiah Sentuh 8.000-an Per Dolar di Laman Google
Next Article Jelang Pengumuman Suku Bunga, Dolar Turun ke Rp 15.300