Di Kasus Tom Lembong, Ketua Bem Hukum Ubk singgung impunitas Bisa Jadikan Lembaga 'super Power'

Sedang Trending 4 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX
  • Berita

  • Politik

Jumat, 14 Maret 2025 - 23:42 WIB

Jakarta, detikai.com – Dalam kasus nan menyeret mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, mahasiswa dari Universitas Bung Karno alias UBK, menitik beratkan pada soal impunitas.

Ketua BEM Fakultas Hukum UBK, Syahril Syafiq Corebima, menyoroti impunitas jaksa nan diatur dalam UU Kejaksaan, khususnya Pasal 8 Ayat 5. Itu disampaikannya dalam obrolan bertema “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa”, nan diselenggarakan secara daring oleh Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD), Jumat 14 Maret 2025.

“Seperti nan kita ketahui, impunitas jaksa dalam UU Kejaksaan saat ini menjadi sorotan. Di kalangan mahasiswa, perihal ini juga menjadi bahan diskusi, terutama mengenai Pasal 8 Ayat 5 nan menyatakan bahwa pemanggilan, pemeriksaan, hingga penahanan jaksa hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Jaksa Agung,”  jelas Syahril.

Menurutnya ini bertentangan dengan prinsip equality before the law alias kesamaan di hadapan hukum. Sebab, ada perlakuan unik terhadap penegak hukum.

“Jika seorang jaksa melakukan tindak pidana, abdi negara penegak norma lain seperti kepolisian kudu menunggu persetujuan Jaksa Agung sebelum bisa melakukan pemeriksaan. Ini tentu memberikan ruang bagi oknum jaksa untuk melarikan diri alias menghindari proses hukum,” katanya.

Diakuinya, impunitas memang diperlukan oleh jaksa. Hanya saja dalam konteks menjalankan tugas nan dilakukan secara profesional. Bukan menjadi tameng dari tindakan menyimpang.

“Saya pikir kewenangan keimunan terhadap jaksa itu sudah cukup jelas, ialah dalam perihal mereka menjalankan tugas secara profesional, mereka tidak bisa dituntut. Tapi ketika seorang jaksa melakukan tindak pidana, lampau kudu menunggu izin Jaksa Agung sebelum diperiksa, ini jelas memberikan perlindungan nan tidak wajar bagi mereka,” papar Syahril.

Dia khawatir, ini rentan penyalahgunaan jika tidak ad koreksi dalam tubuh institusi. Pasal 8 ayat 5 menurutnya, bisa disalahgunakan untuk perihal lain. "Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga nan ‘super power’,” ujarnya.

Syahril memandang perlunya revisi terhadap patokan tersebut. Dengan begitu, tidak ada ketimpangan dalam penegakan hukum.

“Sehingga perlu adanya pertimbangan gimana Pasal 8 ini dapat diubah agar tidak menimbulkan ketidakadilan. Jangan sampai Kejaksaan malah menjadi lembaga nan tak tersentuh hukum,” tandasnya.

Halaman Selanjutnya

Dia khawatir, ini rentan penyalahgunaan jika tidak ad koreksi dalam tubuh institusi. Pasal 8 ayat 5 menurutnya, bisa disalahgunakan untuk perihal lain. "Karena ini memberikan jaksa ruang untuk menjadi lembaga nan ‘super power’,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya

Selengkapnya