ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com - Peristiwa desa terkubur salju di Swiss berpotensi terulang di beragam bagian dunia. Namun, desa di wilayah Asia disebut paling berisiko menjadi korban selanjutnya.
Sebuah desa di Swiss nan berjulukan Blatten hancur terkubur salju dari longsoran gletser pegunungan Birch pada 28 Mei 2025. Untungnya, pemerintah Swiss punya sistem peringatan awal membikin semua penduduk desa tersebut sukses diungsikan sebelum peristiwa selain satu orang nan hilang.
Ali Neumann, dari Swiss Development Cooperation, menyatakan peran dari perubahan suasana atas peristiwa di Blatten masih perlu penyelidikan lebih lanjut. Namun, akibat "kiamat" pemanasan dunia akibat perubahan suasana terhadap bagian dari Bumi nan ditutup oleh air nan membeku (cryosphere), sudah sangat jelas.
"Perubahan suasana dan dampaknya ke cryosphere akan punya akibat kepada masyarakat nan tinggal di dekat gletser, dekat cryosphere, dan berjuntai kepada gletser," kata Neumann. Peristiwa di Blatten menunjukkan keahlian dan pengamatan dalam pengelolaan kondisi darurat bisa mengurangi akibat musibah dengan signifikan."
Stefan Uhlenbrook, Direktur bagian Hidrologi, Air, dan Cryosphere di Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), menyatakan longsor di Swiss menunjukkan pentingnya wilayah nan rawan seperti di Himalaya dan wilayah lain di Asia bersiap-siap.
"Mulai dari pemantauan, berbagi data, simulasi, kalkulasi soal kerawanan, semuanya kudu diperkuat," kata Uhlenbrook. "Di banyak negara-negara di Asia, semuanya lemah, datanya tidak saling terhubung."
Ahli pengetahuan bumi Swiss menggunakan beragam metode pemantauan gletser, termasuk sensor dan gambar satelit.
Menurut PBB, Asia adalah wilayah nan paling banyak terkena musibah suasana dan cuaca jelek pada 2023. Bencana nan paling banyak terjadi adalah banjir dan badai.
Namun, kebanyakan negara di Asia, termasuk nan berbatasan dengan Pegunungan Himalaya, tak punya sumber daya untuk memonitor gletser di wilayah sangat besar.
Menurut Laporan PBB tentang Pengurangan Risiko Bencana nan diterbitkan pada 2024, hanya 2/3 negara di Asia dan wilayah Pasifik nan mempunyai sistem peringatan awal (early warning system).
Parahnya, kebanyakan negara nan tidak punya sistem peringatan awal adalah negara nan paling rawan bencana. Hasilnya, negara-negara di Asia lebih banyak mencatatkan korban akibat musibah suasana dibanding negara lain.
Berdasarkan info dari Center for Research on the Epidemiology of Disasters' Emergency Eventes, jumlah korban jiwa per musibah alam secara dunia adalah 189 orang. Di Asia dan wilayah Pasifik, jumlah korban jiwa per musibah mencapai 338 orang.
Area Pegunungan Himalaya adalah wilayah nan paling berjuntai pada gletser. Sekitar 2 miliar orang berjuntai kepada gletser sebagai sumber air bersih. Kini, gletser Himalayan mencair lebih sigap akibat pemanasan global.
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, ratusan waduk baru terbentuk akibat pencairan gletser. Jika pemisah waduk tersebut bobol, masyarakat nan tinggal di lembah di sekitarnya rawan menjadi korban. Apalagi, permafrost (es abadi) sekarang makin melunak sehingga membikin akibat longsor makin besar.
(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kendala RI Bikin Gim Lokal Makin Maju & Jadi Pilar Ekonomi Baru
Next Article Donald Trump Hapus 'Tanda Kiamat' dari Internet