Cek Gejala Penyakit Pakai Chatgpt? Awas, Ini Wanti-wanti Dokter Hingga Kemenkes Ri

Sedang Trending 4 hari yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Banyak orang sekarang mulai mengandalkan teknologi kepintaran buatan seperti ChatGPT untuk mendiagnosis penyakit secara mandiri. Setelah mendapatkan jawaban, mereka sering kali enggan berkonsultasi lebih lanjut ke dokter.

Padahal, kebiasaan ini bisa berakibat serius, apalagi fatal, jika info nan diperoleh tidak akurat.

Direktur Utama Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah (RSJPD) Harapan Kita (Pusat Jantung Nasional Harapan Kita) Dr dr Iwan Dakota, SpJP(K), MARS mengatakan pemanfaatan AI seperti ChatGPT dalam bumi kesehatan kudu disikapi dengan hati-hati, terutama di Indonesia.

Salah satu tantangan utama dalam penggunaan AI adalah potensi bias algoritma. Hasil alias jawaban nan diberikan AI sangat tergantung pada info nan digunakan untuk melatih sistemnya. Jika info tersebut hanya berasal dari populasi Kaukasia alias negara Barat, maka output nan dihasilkan bisa sangat bias dan tidak mencerminkan kondisi kesehatan masyarakat Indonesia.

"Jadi tetap kita menganggap ChatGPT ataupun AI apapun juga hanya merupakan tools, tapi nan decision makingnya adalah si dokternya. Karena dia bakal menganalisa bukan hanya itu saja, ada banyak perihal lain-lain nan perlu dielaborasi untuk menyampaikan suatu kesimpulan," tuturnya saat ditemui di Jakarta Selatan, Rabu (23/7/2025).

Menurut dr Iwan, master tetap memegang peran krusial dalam menganalisis kondisi pasien secara menyeluruh. Diagnosis tidak bisa hanya berasas jawaban instan dari AI. Ada beragam aspek lain nan perlu ditelaah sebelum sampai pada konklusi medis.

Risiko kesalahan pemeriksaan alias interpretasi info dari AI bisa sangat berbahaya.

Bayangkan jika seseorang nan sebenarnya menderita penyakit serius justru diberi jawaban bahwa kondisinya normal. Hal ini bisa menyebabkan keterlambatan penanganan, hingga pasien datang ke master saat penyakitnya sudah dalam stadium lanjut dan susah ditangani.

"Tiba-tiba dikatakan Anda normal saja, dia bakal neglect it, datang ke master sudah stadium nan sudah berat sekali nan tidak bisa diobati. Miss-interpretasi itu bakal membahayakan sekali," imbuhnya.

"Bahwa AI adalah satu tools alias mitra kita, untuk membantu untuk menegakkan diagnosis, dan juga bisa membantu untuk menuntun ke arah terapuetik. Tapi tidak 100 persen kita percaya ke sana. Dan tidak menggantikan master Itu nan paling penting," lanjutnya.

Senada, Staf Ahli Teknologi Kesehatan Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes), Setiaji, mengatakan database ChatGPT tetap banyak nan berasal dari luar negeri, bukan dari Indonesia. Ini bisa menyebabkan jawaban nan diberikan tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.

"Ya, pertama tadi kan bahwa ChatGPT ini kan datanya tidak ada di Indonesia. Jadi, kita kudu aware gitu ya," ucapnya di aktivitas nan sama.


(suc/up)

Selengkapnya