ARTICLE AD BOX
-
-
Berita
-
Politik
Jumat, 14 Maret 2025 - 13:57 WIB
Jakarta, detikai.com – Dengan teknologi info nan berkembang pesat, membikin penyiaran info bisa dilakukan melalui multiplatform. Untuk itu, perlu patokan nan bisa menjadi solusi, dalam hubungan antara penyedia dan pengguna jasa siaran.
Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Yudha Novanza Utama, menjelaskan mengenai pentingnya reformasi UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran nan sebelumnya telah diubah melalui UU Cipta Kerja.
Lewat Panja RUU Penyiaran, Komisi I DPR menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) berbareng Direktur Jendral Ekosistem Digital, Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI), LPP TVRI , dan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara. RDPU dilaksanakan beberapa waktu lalu.
Anggota Panja RUU Penyiaran, Yudha Novanza Utama, mengatakan UU menunjukkan kehadiran negara dalam pengaturan penyiaran di Indonesia. Sehingga menciptakan ekosistem media nan demokratis, adil, dan tidak mengurangi kebebasan pers.
“RUU Penyiaran nan dibahas saat ini, mempunyai tujuan untuk menciptakan ekosistem media nan sehat dan demokratis. Sehingga menjadi Solusi, nan adaptif dan berkarakter inklusif, bukan sebaliknya untuk membatasi kebebasan kawan-kawan pers,” kata Yudha dalam keterangannya di Jakarta, Jumat 14 Maret 2025.
Jelas dia, RUU Penyiaran ini juga untuk menghadapi kompleksitas dari beragamnya bentuk, kanal distribusi, dan pola konsumsi konten digital. Pendekatan izin baru diperlukan untuk menyeimbangkan perlindungan publik dengan dinamika penemuan ekonomi digital.
“Nantinya bakal ada standar dan kode etik multiplatform, salah satunya sistem sensor nan menjadi model transparansi, pengelompokkan konten, dan pemberdayaan pengguna. Sehingga nantinya, bisa memberikan perlindungan komprehensif mencakup: verifikasi usia nan efektif, algoritma nan mempertimbangkan aspek usia, khususnya untuk anak-anak,” ujarnya.
Jelas Yudha, konten lokal perlu pembaharuan lewat aturan untuk platform digital. Dimana mempunyai perpustakaan konten lebih besar, mencakup tanggungjawab investasi dalam produksi lokal, kesiapan dan visibilitas konten Indonesia, serta partisipasi dalam pengembangan industri imajinatif nasional. Kebijakan didukung insentif fiskal, pengembangan talenta, dan prasarana produksi.
“Pendekatan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab terhadap standar konten melalui penguatan sistem moderasi komunitas, edukasi kreator, dan transparansi pedoman konten platform,” terangnya.
Dalam perihal ini, lanjut dia menjelaskan, negara punya lembaga penyiaran sekaligus masuk dalam unsur pers, nan bisa memberikan pedoman dalam penyusunan RUU Penyiaran.
“Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 14 ayat (1) menetapkan bahwa Lembaga Penyiaran Publik adalah lembaga penyiaran nan berbentuk badan norma nan didirikan oleh negara, berkarakter independen, netral, tidak komersial, dan berfaedah memberikan jasa untuk kepentingan Masyarakat,” jelasnya.
“Dalam era digital nan rentan terhadap disinformasi, lembaga pemberitaan milik negara mempunyai peran strategis sebagai sumber buletin nan kredibel,” lanjutnya.
Apalagi dengan adanya organisasi seperti PRSSNI dan ATVSI, nan memberi masukan, diharapkan bisa lebih komprehensif untuk penyusunan RUU Penyiaran. Sehingga lahir peraturan nan adaptif pada perkembangan teknologi info dan komunikasi, serta bisa melindungi kepentingan nasional di era multiplatform.
“Masukan nan diperoleh nantinya, bakal menjadi bagian dari proses konsultasi publik nan komprehensif, melibatkan beragam pemangku kepentingan termasuk lembaga pemerintah,” pungkasnya.
Halaman Selanjutnya
“Pendekatan menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab terhadap standar konten melalui penguatan sistem moderasi komunitas, edukasi kreator, dan transparansi pedoman konten platform,” terangnya.