ARTICLE AD BOX
Jakarta, detikai.com --
Puasa Ramadan 2025 tak lagi sama bagi penduduk korban banjir perumahan Pondok Gede Permai, Bekasi, Jawa Barat. Hangatnya tak lagi dirasakan lewat sepiker masjid alias sudut-sudut pasar menjelang Magrib.
Pusat ekonomi penduduk nan biasanya hidup di sepanjang jalan utama kompleks tersebut tetap nyaris lumpuh. Ruko, warung, toko baju, mini market, salon, hanya dipenuhi sampah bermandi lumpur.
Bagi sebagian warga, membersihkan sisa-sisa lumpur di toko dan warung boleh jadi bakal menjadi sisa pekerjaan mereka hingga Lebaran nanti. Meski bagi sebagian nan lain lebih memilih pasrah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menyusuri jalan-jalan kompleks, kondisinya bisa lebih parah. Meski banyak penduduk nan sudah tinggal di rumah mereka, tak sedikit pula rumah-rumah itu kosong dan ditinggal penghuninya.
Mereka membiarkan perabotan rumah tangga nan dilumuri lumpur kering menumpuk di teras dan halaman. Sekilas, barang-barang itu tak ada bedanya dengan tumpukan sampah lantaran sama-sama berwarna coklat.
Tak sampai lima menit dari Pondok Gede Permai, kondisinya nyaris serupa di kompleks Vila Nusa Indah. Terpisah sungai, dua kompleks itu menjadi wilayah perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor.
Namun, keduanya punya nasib nan sama saban memasuki musim hujan; banjir.
Sisa asa Ramadan
Sudah lebih dari tiga jam Didi tak beranjak dari bangku plastik kecilnya. Dia ditemani satu kawan membersihkan sisa-sisa peralatan dagangan nan selamat dari banjir dahsyat sepekan sebelumnya, Selasa (4/3).
Sementara, satu rekannya lagi, tengah mengecat langit-langit plafon. Banjir telah mengubah warna cat warung Madura itu menjadi coklat. Karena tak bisa dibersihkan, maka tak ada pilihan lain selain mengecat ulang.
Barang-barang dagangan nan dibersihkan Didi umumnya makanan alias minuman dalam kemasan, seperti mie instan, kopi dan susu sachet, hingga minuman kemasan. Sisanya, peralatan dagangan lenyap dibawa banjir. Didi mengaku tak ingat rincian peralatan nan lenyap termasuk jumlah kerugiannya.
"Ini sudah lima hari bersih-bersih," kata Didi.
Warung kelontong Didi hanya satu dari sejumlah upaya mini di kompleks Perumahan Pondok Gede Permai nan tetap lumpuh akibat banjir. Hingga sepekan setelahnya, penduduk tetap sibuk membersihkan sisa-sisa lumpur di warung, ruko, dan rumah mereka.
Kini, lumpur menjadi masalah serius meski banjir telah sepenuhnya surut. Lumpur nan dibawa banjir itu memenuhi nyaris semua area kompleks, termasuk di jalan-jalan, sekolah, tempat ibadah, dan rumah warga.
Masalahnya, sisa-sisa lumpur itu tak sepenuhnya mudah dibersihkan. Selain lantaran air nan terbatas, tak semua aliran listrik saat ini sudah kembali pulih. Akibatnya, tak jarang penduduk kudu membeli air tangki untuk kebutuhan pribadi. Sebab, mobil damkar hanya melakukan pembersihan di akomodasi publik.
Di depan warung kelontong Didi, sebuah toko busana terpaksa kudu membagi-bagikan peralatan dagangannya nan terendam banjir. Konon, meski bisa dicuci, baju-baju tersebut sudah tak layak dijual.
"Barang enggak ada nan selamat kena air semua. Enggak bisa diselamatin," kata pemilik toko pakaian, Ahmad Nasir, Rabu (12/3).
Nasir mengaku tak bisa menghitung persis jumlah peralatan dagangannya nan lenyap akibat banjir. Namun, dia memperkirakan nomor kerugian mencapai Rp200-300 juta.
"Kalau kerugian dananya kira-kira Rp200-300 juta. Kalau hitung piece-nya, udah enggak kehitung," kata dia.
Meski begitu, Nasir mengaku tak kapok, meski banjir bukan kali pertama merenggut usahanya. Sebelumnya, kasus nan sama juga pernah terjadi pada 2020.
Menjelang Lebaran ini, Nasir memutuskan bakal kembali membuka toko bajunya. Setelah isi toko dibersihkan dari sisa lumpur, dia bakal segera kulakan busana untuk kembali dijual.
"Rencananya Jumat jika tetap bisa. Kalau enggak bisa hari Minggu," kata Nasir.
Rumah penduduk Pondok Gede Permai nan hancur lantaran banjir. Foto: detikai.com/ Thohirin
Banjir 5 tahunan
Sutiah (47) hanya termangu di tenda posko pengungsian BNPB sehari usah banjir menenggelamkan nyaris semua rumahnya, Selasa (4/3). Tatapan matanya kosong, meski kebanyakan penduduk tengah antre support sembako.
Sutiah mengaku banjir telah merampas semua peralatan miliknya di rumah, apalagi tidak menyisakan peralatan sehelai baju sekalipun; televisi, kulkas, kipas, apalagi kendaraan motor miliknya.
"Ya pada tenggelam semua. Elektronik ya pada ini, kipas angin, tv, semuanya. Enggak ada nan selamat," kata Sutiah.
Dalam lima tahun terakhir, banjir sekarang bak kutukan bagi penduduk perumahan Pondok Gede Permai dan Vila Nusa Indah. Banjir menjadi ancaman dan terus membayangi mereka saban musim hujan.
Peristiwa serupa pernah terjadi di dua tempat itu pada awal 2020 dan 2016. Pada 2020, banjir apalagi menewaskan sembilan orang. Banjir menghanyutkan barang-barang milik warga. Mobil, motor, perabotan, perkakas elektronik bertumpuk di jalan utama kompleks tanpa tahu pemiliknya.
Sementara, Pemkot Bekasi mencatat akibat banjir terakhir, sebanyak 22.856 ribu KK terdampak di delapan kecamatan dan lebih dari 26 kelurahan. Kecamatan Jatiasih menjadi wilayah dengan kondisi terparah. Total ada tujuh perumahan nan terdampak dengan luas mencapai 145,7 Hektar.
Lantas, apa akar persoalan kondisi tersebut?
Secara umum, banjir di Bekasi, khususnya di perumahan Pondok Gede Permai dan Vila Nusa Indah faktanya disebabkan lantaran kerusakan lingkungan. Perubahan tata ruang nan tidak memperhatikan lingkungan dinilai memperburuk intensitas banjir.
Data Greenpeace mencatat, DAS Kali Bekasi sekarang hanya tersisa sekitar 1.700 hektare alias hanya 2 persen dari total DAS sekitar 147 ribu hektare. Padahal, idealnya, wilayah rimba minimal 30 persen dari luas DAS sebagaimana diatur dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Data lain mengungkap, pada 2022 penggunaan lahan DAS Kali Bekasi kebanyakan telah beranjak kegunaan menjadi permukiman dengan total mencapai 61.297,3 hektare. Jumlah ini mencapai 42 persen dari total DAS Kali Bekasi seluas 145.952,7 hektare.
Angkanya meningkat drastis jika dibandingkan dengan info pada 1990 silam. Saat itu, penggunaan lahan DAS untuk permukiman hanya sekitar 7.455,5 hektare (5,1 persen) dari total DAS seluas 145.805,2 hektare.
Dengan kondisi itu, pemerintah dinilai belum serius mengatasi persoalan banjir secara komprehensif. Warga menyesalkan selama ini pemerintah hanya muncul dan nampak serius saat banjir terus berulang.
Namun, berbarengan dengan surutnya air, surut pula kesungguhan pemerintah melakukan penanganan serius.
"Janji-janji mulu. Ngumpulin KK, foto-foto, diem. Ngumpulin lagi. Hanya sekadar seremonial aja lah. Hanya jadi azas kemanfaatan aja kita," kata penduduk nan enggan disebutkan namanya.
Kritik serupa juga disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Dia mengkritik langkah penanganan lewat sembako selama ini atas musibah nan dialami masyarakat.
"Kita ini punya karakter khas. Banjir dikirim sembako. Longsor dikirim sembako. Kebakaran dikirim sembako. Seluruh masalah penyelesaiannya sembako. Saya mau penyelesaiannya komprehensif," kata Dedi.
"Yuk, kita perang, ya kita perang. Kita tarung ya kita tarung," imbuhnya.
Infografis - Memahami Asal Muasal Banjir Bekasi
(dal/thr)
[Gambas:Video CNN]